Mengapa Allah tidak terlihat ? Sebuah Jawaban menurut Al-Quran dengan prespektif konsep visual

Era modern telah membawa kemajuan-kemajuan di bidang teknologi. Kemajuan teknologi tersebut justru membuat manusia senantiasa dimanjakan oleh konten visual. Visual sendiri berarti segala sesuatu yang dapat dilihat,[1] baik berupa gambar berbentuk foto dan illustrasi atau berupa video serta animasi, bahkan dikatakan bahwa manusia menerima informasi melalui mata sebanyak 80%.[2] Dengan keadaaan demikian, manusia kini memiliki ketergantungan dengan sajian visual dalam hidupnya. Semua sajian itu mengarah pada media sosial yang sudah hidup berdampingan dengan manusia saat ini, seperti Youtube, Tik Tok, Instagram, Facebok dan media-media lainnya.

Lantas dengan ketergantungan visual tersebut, bagaimana bisa umat muslim memercayai Tuhan yang tidak terlihat?. Pertanyaan mendasar sering muncul tentang keingintahuan “mengapa Tuhan dalam Islam tidak terlihat?”, apalagi ketika pertanyaan ini dikomparasikan dengan konsep-konsep ketuhanan diluar Islam. Tentu perbincangan ini sangat menarik dan acapkali menjadi satu diskusi yang hangat dalam forum-forum akademik.

Dengan pertanyaan tersbut, saya pun mengunjungi salah satu podcast yang digandrungi masyarakat saat ini. Ia adalah podcast milik tokoh muda Islam Indonesia yaitu Habib Husein Jafar. Dalan satu kesempatan, Habib Ja’far pernah memberikan jawaban atas pertanyaan itu, serta menjadikan videonya tersebar dan viral. Namun, dalam pandangan penulis, Habib Husein Jafar menjawab pada sisi kekuasaan Tuhan, dan belum memberikan jawaban pada inti pertanyaan, serta memunculkan pertanyaan baru, “apakah bahasan sepenting itu tidak ada dalam Al-Quran?”. Penulis juga menyadari, apa yang dilakukan oleh Habib Husein Jafar adalah sesuatu yang wajar, karena pertimbangan waktu, dan perlu menggunakan jawaban yang menyentuh sisi rasa, dimana sisi rasa cenderung tidak memerlukan analisis kritis. Benar sekali bahwa jawaban Habib Husein Jafar tentang Kekuasaan Tuhan memang dapat terlihat dengan jelas, sehingga sesorang yang memiliki latar belakang agama apapun akan merasakannya. Dalam hal ini bagi penulis, pertanyaan “mengapa Tuhan dalam Islam tidak terlihat?” adalah berkaitan dengan Wujud Tuhan yang divisualisasi, jawaban atas pertanyaan itulah yang akan penulis bahas di artikel ini berdasarkan Al-Quran dan menggunakan konsep visual sebagai analisisnya.

              Sebelum membahas lebih jauh, di dalam Al-Quran, Allah memuji orang-orang yang beriman kepada Tuhannya yang tidak terlihat, yaitu dalam surah Al-Mulk ayat 12, “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar”. Ayat ini memberikan indikasi bahwa Allah Tuhan Yang Maha Kuasa tidak bisa divisualisasi, serta ayat tersebut juga bagi penulis memberikan isyarat perbedaan konsep Islam dengan agama yang lain. Lantas muncul pertanyaan “mengapa?” Allah dalam Islam tidak dapat terlihat atau divisualisasi seperti praktik agama yang lain?. Untuk menjawabnya, ternyata Allah sudah memberikan jawaban di dalam Al-Quran, jawaban ini juga akan menjawab keseluruhan pertanyaan sejak awal, dan pendekatan dalam memandang pertanyaan itu maupun menjawabnya adalah menurut konsep visual.

Allah memberikan jawaban pada surah Al-Ikhlas ayat 4, “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.[3] Term ‘tidak ada yang setara’ dapat dipahami dengan mudah, yaitu bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat dibandingkan dengan Allah. Hal ini tentu saja menimbulkan konsekuensi logis. Karena, ketika sesuatu dapat dibandingkan berarti ada yang setara dengannya, sehingga dalam konsep visual, mudahnya penulis simpulkan yaitu “sesuatu yang dapat kita lihat, maka dapat pula kita bandingkan.” Mudahnya kita melihat contoh berikut : jika kita melihat pintu berbentuk persegi panjang, maka pintu itu dapat kita bandingkan dengan pintu yang berbentuk lain. Bahkan tidak sekedar bentuk, kita juga dapat membandingkan bahannya, teksturnya, serta hal lain yang dapat dilihat dari sebuah pintu. Segala sesuatu di dunia ini yang dapat kita lihat, maka pasti dapat kita bandingkan.[4]

Dalam perbandingan, dikenal istilah “apple to apple”, artinya perbandingan dianggap logis jika membandingkan sesuatu yang setara, sehingga membandingkan mobil fortuner dengan sepeda akan dianggap bukan perbandingan, karena tidak setara. Hal lain misalnya, dalam target pasar produk teknologi, dikenal istilah entry level, mid-end, dan high-end. Pembagian segmen produk teknologi tersebut untuk menunjukkan perbedaan kelas, sehingga tidak logis jika membandingkan produk entry level dengan mid-end, karena sekali lagi perbandingan tersebut tidak setara atau tidak “apple to apple”, produk entry level harus dibandingkan dengan entry level pula, konsep yang sama berlaku pada segmentasi produk lain.

Allah yang tidak dapat divisualisasi atau tidak dapat dilihat adalah kesesuaian dari konsep dan pernyataan Al-Quran bahwa “tidak ada yang setara dengan Dia”. Lebih lanjut di dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 82 dikatakan “sekiranya (Al-Quran) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya”, pernyataan dalam surah An-Nisa tersebut menegaskan bahwa kebenaran tidak mengandung sesuatu yang kontradiktif, kebenaran tidak mengandung sesuatu yang berlawanan atau bertentangan. Sehingga syarat kebenaran adalah pernyataan dan kenyataan tidak bertentangan, sebagaimana dapat pula kita temukan pada teori kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan.[5]

Kesimpulannya jika Allah menyatakan dalam Al-Quran, “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia”, maka ini menjadi konsep bahwa tidak ada sesuatu apapun yang bisa dibandingkan dengan Allah. Karena dalam Islam segala sesuatu selain Allah adalah makhluk, Allah adalah Pencipta, selain-Nya adalah makhluk, sehingga tidak “apple to apple” jika Allah dibandingkan dengan makhluk. Kemudian apabila menggunakan konsep visual, kesesuaian akan terjadi jika Allah memang tidak dapat dilihat, tidak dapat divisualisasi, artinya jika tidak dapat divisualisasi maka menjadi tidak dapat dibandingkan. Kemudian lebih jauh, bahwa kita tidak mampu membayangkan Wujud Allah, hal tersebut memiliki benang merah pada konsep visual yang penulis simpulkan, yaitu jika “sesuatu yang dapat kita bayangkan, maka tentu dapat kita visualisasi”,[6] pada konsep ini dapat ditarik garis lurus, bahwa Allah sebagai Dzat yang tidak dapat dibandingkan sehingga tidak dapat divisualisasi, ketika tidak dapat divisualisasi maka tidak dapat pula dibayangkan atau diimajinasikan.

Referensi

Didiek Ahmad Supadie, dkk., Pengantar Studi Islam: Edisi Revisi (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011)

Didit Widiatmoko Soewardikoen, Metodologi Penelitian DKV (PT. Kanisius: Yogyakarta, 2019)

Husen Hendriyana, Rupa Dasar Nirmana: Asas dan Prinsip Dasar Seni Visual (ANDI: Yogyakarta, 2019)

Sumbo Tinarbuko, DEKAVE Desain Komunikasi Visual: Penanda Zaman Masyarakat Global (CAPS: Yogyakarta, 2015)

Tafsir Ibnu Katsir


[1] Didit Widiatmoko Soewardikoen, Metodologi Penelitian DKV (PT. Kanisius: Yogyakarta, 2019), 3.

[2] Didit Widiatmoko Soewardikoen, Metodologi Penelitian DKV.

[3] Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan pada maksud ayat, Dialah Yang memiliki segala sesuatu dan Yang Menciptakannya, maka mana mungkin Dia mempunyai tandingan dari kalangan makhluk-Nya yang menyamai-Nya atau mendekati-Nya, Mahatinggi lagi Mahasuci Allah dari semuanya itu.

[4] Segala benda di alam memiliki bentuk, baik bentuk yang jelas ataupun abstrak, bentuk itulah yang ditangkap oleh mata, semua bentuk dapat disederhanakan menjadi titik, garis, bidang, tekstur dan lainnya, semua bentuk memiliki ukuran, raut, warna, dan lainnya, setiap bentuk menempati ruang, lihat Husen Hendriyana, Rupa Dasar Nirmana: Asas dan Prinsip Dasar Seni Visual (ANDI: Yogyakarta, 2019), 28-32.

[5] Didiek Ahmad Supadie, dkk., Pengantar Studi Islam: Edisi Revisi (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011), 19-20.

[6] Proses perupaan sebuah proses tranformasi pemikiran seseorang, dari sebuah bentuk imajinasi, ide, gagasan yang bersifat abstrak kedalam bentuk terindra, terlihat, Lihat Husen Hendriyana, Rupa Dasar Nirmana: Asas dan Prinsip Dasar Seni Visual (ANDI: Yogyakarta, 2019), 5 dan Sumbo Tinarbuko, DEKAVE Desain Komunikasi Visual: Penanda Zaman Masyarakat Global (CAPS: Yogyakarta, 2015), 16-18.

Abdul Aziz

Bertempat tinggal di Samarinda Kaltim. Kini tengah melanjutkan studi di Magister Studi Islam Pascasarjana UIN Malang. Merupakan alumni Institut Agama Islam Negeri Samarinda. Banyak menulis dalam minat kajian Studi Islam dan Teknologi dan juga disibukkan dalam dunia content creator. Bisa ditemui melalui instagram @azizabdul.me

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *