Debat Kusir Depan Masjid

Nasirun sudah berdandan rapi dengan baju koko putih dan sarung hitamnya. Tak lupa satu serban hijau di pundaknya menambah kewibawaan seorang ketua takmir yang baru saja terpilih untuk kedua kalinya, sebulan yang lalu. Songkoknya berbordir ornamen bebungaan dengan jahitan benang kuning keemasan. Dan yang paling penting parfumnya, misk hajar aswad yang  ia pakai khusus hari Jumat. Wanginya begitu semerbak, menusuk hidung para pedagang kaki lima, tukang ojek, hingga masuk ke warung-warung yang ramai para karyawan makan siang.

Sekarang pukul sebelas kurang lima belas. Nasirun mempercepat langkah, ia hendak absen pertama ke malaikat penjaga pintu masjid. Sejak kecil ia sudah sering mendengar ceramah tentang ganjaran orang-orang yang berangkat salat Jumat. Dimulai dari saf terdepan setara dengan ganjaran unta, saf kedua setara dengan ganjaran sapi, saf ketiga setara dengan ganjaran kambing, kelima setara dengan ganjaran ayam, dan keenam setara dengan ganjaran telur ayam. Kemudian  setelah khatib naik mimbar, malaikat berhenti mencatat dan ikut mendengar khotbah. Ia tak mau dapat telur ayam, apalagi sampai tak dapat ganjaran. Apa daya nantinya jikalau di surga buku catatannya dibuka dan orang-orang tahu jika ketua takmir malah dapat ganjaran telur ayam. Begitulah yang ia yakini selama ini.

Namung sayang, sesampainya ia di pelataran masjid, dua pengemis sudah menggelar tikar dan duduk-duduk di sana. Pemandangan itu membuatnya geram. Selain karena ia kalah start, Nasirun juga merasa pekerjaan mengemis itu memalukan. “Kalian selalu saja mengemis. Tak pernah ikut sembahyang Jumat, bisanya hanya minta-minta,” ucap Nasirun. Salah seorang pun berdiri, “Mencari nafkah itu wajib Pak, sembahyang itu wajib. Kalau wajib berbarengan ya tidak bisa, harus pilih salah satu kan?.”

Tak mau kalah didebat, Nasirun menjawab balik, “Sembahyang itu wajib, kalau kau meninggalkan sembahyang hukumnya jelas-jelas dosa.” Pengemis lain ikut beranjak, “Siapa bilang kami tak sembahyang?, kami nanti sembahyang zuhur sendiri, bahkan kami pun ikut menyimak khotbah Jumat.”

Nasirun merasa terpojokkan oleh argumen-argumen buta dua pengemis itu, “Wah dasar kepala batu!. Daripada mengemis,  minimal kerja jadi tukang parkir atau mulung atau apalah, usaha sedikit lah, jangan minta-minta terus. Badan masih sehat bugar begitu.”

“Kami mengemis hanya hari Jumat kok” jawab pengemis pertama, “Selain Jumat kami semua mengumpulkan rongsokan.”

“Kenapa tak kau teruskan kalau Jumat?,” selidik Nasirun dengan raut muka semakin kesal.

“Khusus Jumat kami ingin menjemput rahmat Allah dari para orang dermawan di hari Jumat yang datang ke masjid.”

Mendengar jawaban itu Nasirun semakin naik pitam, “Dasar dungu!, mana mungkin orang-orang mau bersedekah merasa iba pada orang yang sehat bugar seperti kalian!.”

“Jumat lalu, hasil kami berdua dapat seratus lima puluh ribu,” jawab pengemis kedua dengan menyeringai ke arah Nasirun.

Nasirun menghela nafas sejenak, mengatur tempo bicaranya yang tersengal karena tikaman-tikaman omongan mereka. Sementara itu, beberapa takmir lain pun berdatangan ke masjid, diikuti beberapa jamaah. 

“Begini saja, kalian sembahyang Jumat, lalu nanti kuberi makan siang. Dan baliklah bekerja,” ujar Nasirun menenang.

“Kalau sekedar makan siang, kami juga bisa beli sendiri. Kami itu hanya menyalurkan sedekah pada hal yang semestinya.”

“Pada hal semestinya?” Nasirun kembali naik, “Pada hal semestinya bagaimana? atau kalian mau kuusir sekalian?.”

“Wah main usir-usir saja. Tenang Pak, masa iya orang berseragam saleh seperti bapak main semena-mena.”

“Oke,” Nasirun kembali menghela nafas. “Mau kalian apa sekarang?.”

“Ya biarkan saja kami mengemis di sini, jangan ikut campur urusan orang mencari rezeki Pak.”

“Oh begitu, baiklah, jangan harap dapat uluran tangan orang-orang. Toh nanti orang-orang juga memilih mengisi kotak amal di masjid.”

Dua pengemis itu terkejut mendengar jawaban Nasirun. Sepertinya kali ini Nasirun membalik keadaan. Nasirun pun berkacak pinggang dibumbui wajah dipaksa garang menantang di hadapan mereka berdua.

“Oke tak masalah” celetuk salah satu dari mereka, “Sebetulnya, antara kotak amal dan tangan kami, keduanya sama-sama tempat yang tepat. Hanya persoalan pembuktian saja.” Nasirun pun mengernyitkan dahi, “Maksudmu?.”

Pengemis itu pun membuka lipatan sarungnya. Ia kemudian mempertontonkan dua lembar uang sepuluh ribu yang kusut di hadapan Nasirun. “Lihat ini, hari ini segini yang kudapat. Tak perlu menunggu esok hari, nanti malam uang ini juga habis untuk kebutuhan makan.”

 “Terus?,” cecar Nasirun.

“Sedangkan di masjid besar ini, duit puluhan juta hasil infak  ujung-ujungnya disimpan,” jawab pengemis itu enteng.

Kali ini Nasirun benar-benar memerah melebihi sebelumnya. Amarahnya memuncak, matanya melotot, dan tangan kanannya menunjuk-nunjuk di hadapan kedua muka pengemis itu, “Asal kalian tahu ya, uang-uang itu milik umat. Disimpan karena belum dibutuhkan. Suatu saat akan kembali ke umat, semua akan dirupakan pada kenyamanan fasilitas jamaah!.” Mendengar Nasirun bernada tinggi, jamaah yang berdatangan pun kebingungan. Pemandangan debat kusir itu membuat beberapa dari mereka tertawa cekikikan.

“Oh untuk umat?,” pengemis itu tak gentar, “Baiklah, sampaikan salamku pada pengurus masjidnya Pak. Lihat itu keran air wudu banyak yang bocor, rak penitipan sandal banyak yang hilang kuncinya, keset di depan pintu masuk sudah lama tidak dijemur, kipas angin juga banyak yang rusak, dan terakhir kemarin saya mampir dan sandal saya hilang. Semoga saja direspon baik dengan uang puluhan juta itu. Kalau begitu aku pergi saja mencari masjid lain. Assalamualaikum bapak yang saleh,” pengemis itu pergi sambil memungut alas duduknya, diikuti pengemis kedua dengan membuang muka pada Nasirun.

Manakala kedua pengemis itu sudah berjalan jauh di depan radar matanya, Nasirun masih termangu, ia masih menenangkan nafasnya. Sedangkan bedug di masjid pun telah dipukul dan khotib sudah bersiap naik mimbar. Pengemis dungu, aku menyia-nyiakan jatah ganjaran untaku, gumamnya.

Ia pun melangkah masuk masjid dan berulang kali menghhela nafas disertai alisnya yang meninggi menenangkan kecamuk amarahnya. “Ada urusan apa Pak Run? tegang sekali rupanya,” celetuk salah seorang takmir lain. Nasirun pun menjawab ketus, “Nanti selepas sembahyang Jumat kita rapat!, kita benahi infrastruktur masjid ini. Pokoknya aku mau semua dibenahi!. Taruh mana muka ketua takmir ini di akhirat nanti!.”

Muhammad Farhan

Asal Pasuruan Jatim. Kolumnis dan Cerpenis di beberapa media massa. Menyelesaikan studi Sarjana Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif dalam keorganisasian Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Bangil Pasuruan.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *