Dinamika penafsiran Al-Qur’an tidak pernah berhenti sejak kitab suci tersebut diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Berbagai macam corak penafsiran telah disuguhkan oleh mufasir klasik hingga modern. Penafsiran Al-Qur’an bahkan tidak akan sampai pada titik final selama akal masih eksis dalam diri manusia. Tafsir selalu membuka kemungkinan lahirnya wacana baru yang tidak akan pernah berhenti.
Pada abad ke-20 muncul beberapa tokoh yang berkeinginan menegaskan kembali bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil-‘alamin. Tidak membedakan antara rakyat kaya maupun miskin, tua maupun muda, laki laki atau perempuan. Adalah Asghar Ali Engineer, salah satu dari beberapa tokoh cendekiawan abad ke-20 tersebut. Bahkan beliau tidak hanya sebagai sosok seorang cendekiawan kaliber, namun juga seorang aktivis sekaligus seorang da’i.
Asghar Ali Engineer lahir di Bohra, tepatnya di Salumbar Rajashtan, India, pada 10 Maret 1939, Sumber lain menyebutkan 10 Maret 1940. Dia dilahirkan dari sebuah keluarga ortodoks yang taat beragama. Sejak kecil, Asghar Ali mendapat pendidikan Bahasa Arab, Tafsir, Hadis dan fikih dari ayahnya dan selanjutnya mengembangkannya sendiri. Dalam lingkungan keluarga yang demikian, Asghar Ali tidak hanya mendapatkan pendidikan agama, justru pendidikan umum pun turut diperhatikan juga. Ayahnya mengirimnya ke sekolah umum dan menyarankan untuk belajar teknik atau kedokteran. Namun, Asghar Ali tertarik memilih belajar teknik sipil di Fakultas Teknik di Vikram University, Ujjain, India, dan lulus dengan mendapat gelar doktor.
Pemikiran yang dicetuskan oleh seorang tokoh dapat dikatakan tidak bisa lepas dari latar belakang kehidupannya. Begitupun seperti halnya segala yang telah dibawa oleh Asghar Ali. Dalam perjalannya hidupnya, beliau mendapati masa pluralitas penduduk di India. Adanya pluralitas penduduk pada masa itu mengakibatkan munculnya komunalisme yang begitu besar mewarnai kehidupan masyarakat India. Selain masalah komunalisme, India pada masa itu masih berada dalam jajahan Inggris. Kolonialisme Inggris pada masa itu berdampak besar bagi kemunculan komunalisme di India. Karena Pemerintah Inggris bertindak tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap umat muslim. Sebaliknya, pemerintah Inggris memberi dukungan dan fasilitas kepada umat beragama Hindu.
Selain itu, masyarakat India menganut sistem patriarki, di mana kedudukan seorang wanita berada di bawah laki-laki. Perempuan pada masa itu dipaksa berhenti sekolah karena dinikahkan orang tuanya, laki-laki lebih berhak memperoleh pendidikan daripada perempuan, dan masih banyak lagi perlakuan-perlakuan yang tidak adil yang diberikan kepada perempuan. Situasi dan kondisi masyarakat India yang sangat memprihatinkan itulah yang mengobarkan semangat Asghar Ali Engineer untuk memecahkan berbagai konflik yang terjadi di India.
Tidak heran jika karya-karya beliau tidak jauh dari pembahasan terkait situasi dan kondisi masyarakat India pada saat itu. Karya-karya beliau di antaranya ialah The Right Woman in Islam, Islam Women and Gender Justice, The Qur’an. Women and Modern Society. Ketiga karya beliau ini kurang lebih menjelaskan tentang bagaimana pandangan Islam mengenai kedudukan wanita, kedudukan laki-laki dan perempuan, dan kedudukan perempuan dalam ranah publik. Sedangkan karya beliau yang berjudul The Bohras, Muslims and India, Communalism In India menggambarkan masyarakat Bohra di India yang pada umumnya merupakan masyarakat muslim. Umat Islam di India merupakan kaum minoritas yang sering diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah pada masa itu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, India pada masa itu berada di bawah jajahan Inggris yang bertindak sewenang-wenang kepada selain umat beragama Hindu.
Tentang Gagasan Besarnya
Selain memiliki banyak karya tulis, beliau juga memiliki beberapa pemikiran yang di antaranya cukup fenomenal dan menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Namun, banyak juga pemikiran beliau yang mengajak umat Muslim agar lebih maju, bersifat adil, dan tidak berlaku sewenang-wenang kepada orang lain. Salah satu pemikiran beliau yang terkenal ialah Teologi Pembebasan. Istilah teologi pembebasan sebenarnya muncul pertama kali di kawasan Amerika Latin sebagai repon terhadap kondisi, sosial, ekonomi, dan politik pada masa itu. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa Islam merupakan agama pembebasan. Beliau menjelaskan bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pembebasan; seperti ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan gender, dan lain sebagainya. Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini, Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis. Asghar mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil makna tersirat dari maksud ayat itu, kemudian diterapkan pada permasalahan masa kini.
Beliau mengemukakan tiga pembebasan yang harus dilakukan manusia. Pertama, pembebasan dari ketidaksetaraan manusia. Kedudukan manusia semuanya sama. Semua manusia berasal dari satu keturunan yang sama, yaitu Nabi Adam. Sehingga tidak bisa sekelompok manusia menganggap bahwa mereka lebih mulia dari manusia lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Hujurat ayat 13.
Kedua, pembebasan dari ketidaksetaraan gender. Kedudukan laki-laki dan perempuan ialah sama. Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab Jahiliyah menganggap bahwa memiliki anak perempuan merupakan sebuah aib. Sehingga, apabila ada bayi perempuan yang dilahirkan, maka akan langsung dikubur hidup-hidup. Setelah Islam datang, pandangan mereka terhadap anak perempuan pun berubah. Asghar Ali mengatakan bahwa dari penjelasan Al-Qur’an tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang perempuan berhak memperoleh pendidikan sama seperti laki-laki. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk bekerja, hak untuk berpolitik dan hak untuk terlibat dalam urusan publik.
Ketiga, pembebasan dari ketidak adilan. Beliau menjelaskan bahwa ketidakadilan dalam hal ekonomi merupakan perkara yang harus dihindari, terutama bagi umat muslim. Adil dalam bahasa Arab mengandung arti kesataraan dan kesamaan. Beliau mengatakan bahwa Islam melarang konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu, menentang bermewah-mewahan dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak orang lain yang membutuhkan. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang menumpuk harta, berlaku tidak adil dan bertindak semena-mena kepada orang miskin disebut dengan kafir. Beliau secara berani mengatakan bahwa orang kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW serta mereka yang tidak ikut menentang berbagai bentuk eksploitasi, penindasan dan penjajahan. Seseorang yang beriman kepada Allah namun disisi lain mengikuti hawa nafsu, serta menimbun kekayaan dengan menindas orang lain termasuk dalam golongan orang kafir. Asghar Ali menggunakan dalil surah Al-Ma’un ayat 1-7 sebagai landasan dari pernyataannya.
Konsep Kafir yang beliau kemukakan sangat berbeda dengan apa yang dipahami umat muslim pada umumnya. Istilah kafir berasal dari kata kafara yang berarti menutupi. Ibnu Mandzur mengkategorikan kata kufr sebagai berikut; (1) sebagai antonim dari iman (2) antonim dari syukur (3) kufr al-inkar, yaitu mengingkari Allah dengan hati dan lisan. (4) kufr al, juhud, yaitu mengingkari Allah dengan lisan. (5) kufr al-mu’anadat, yaitu mengimani Allah dengan hati dan lisannya, namun enggan memeluk agama Islam. Para ulama menafsirkan kata kafir sebagai orang yang tidak beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Kata kafir juga diartikan sebagai orang yang tidak memeluk agama Islam. Meskipun seseorang beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad namun tidak mengikrarkan kalimat syahadat maka ia tetap disebut kafir.
Konsep kafir yang beliau kemukakan kurang pas jika ditujukan kepada orang yang melakukan penindasan kepada orang miskin dan melakukan eksploitasi harta. Orang yang demikian lebih tepat disebut dengan orang Islam yang dzalim. Dzalim adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, baik mengurangi, menambahi, ataupun menyimpang. Dari makna ini kemudian berkembang pada beberapa makna yang kesemuanya sejatinya tidak keluar dari makna asalnya. Sementara al-Ashfihani dalam Mufradât Alfadz Al-Qur’an menjelaskan bahwa dzalim itu ada tiga macam; (1) kedzaliman manusia kepada Allah SWT. (2). kedzaliman antar sesama manusia. (3). kedzaliman terhadap diri sendiri yaitu berbuat dosa yang nantinya merugikan diri sendirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang muslim yang menindas orang miskin dapat dikategorikan ke dalam muslim yang dzalim.
Islam memang melarang hidup bermewah-mewahan dan menumpuk harta. Bukan berarti kita meninggalkan urusan dunia dan mengejar urusan akhirat. Keduanya harus berjalan beriringan. Dalam sebuah hadis dijelaskan. “bukankah orang yang paling baik diantara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain”.
Seorang muslim juga dianjurkan menjadi orang yang kuat. Maksud dari kuat disini bukan hanya kuat fisiknya, akan tetapi kuat dalam hal ekonomi, emosi, kesehatan, dan lain sebagainya. Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” Seseorang yang memiliki kelebihan harta seyogyanya tidak menghambur-hamburkan harta yang dimiliki. Gunakan harta yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan. Dan sisihkan harta kita untuk membantu mereka yang kekurangan. Syariat Islam menganjurkan pemeluknya untuk memperbanyak sedekah dan pebuatan baik terhadap sesama. Islam mengajak para pemeluknya untuk selalu menolong orang-orang yang kesusahan dan menyayangi fakir miskin. Bersedekah merupakan salah satu wujud syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Barang siapa melapangkan kesempitan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melapangkan baginya kesusahan di hari kiamat, dan barang siapa memudahkan kesukaran seseorang, maka Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim).
Referensi
Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin. 2002. “Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir”. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ahmad Baidowi. 2005. “Tafsir Feminis Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufassir Kontemporer”. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2005.
Asghar Ali Engineer. 2000. “Hak-hak Perempuan dalam Islam”, terj. Farid dan Cici. Yogyakarta: LSPPA.
Asghar Ali Engineer. 2004. “Islam Masa Kini”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Michael Lowy, 1999. “Teologi Pembebasan”.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ah. Choiron, “Islam dan Kemanusiaan Perspektif Pendidikan Pembebasan”, Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 12 No. 1, 2017
Haikal Fadhil Anam, “Konsep Kafir dalam Al-Qur’an: Studi Atas Penafsiran Asghar Ali Engineer”. Nalar : Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, Vol. 2 No. 2, 2018.
Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi, “Shahih Muslim”, Beirut : Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Vol 4