Perjumpaan saya pada “Meditations on First Philosophy” adalah bentuk jawaban atas keresahan-keresahan selama ini. Descartes menemukan Tuhan. Begitulah kalimat yang bombastis untuk mengatakan kondisi keresahan demikian. Bahkan saya pun harus ajeg memahami satu per satu, kalimat per kalimatnya, yang seluruhnya adalah fakta tak terbantahkan.
Dalam Meditations bab 3, ia membuka dengan menutur I will now shut my eyes, stop my ears, and withdraw all my senses. Descartes menutup semua persepsi dan benar-benar menghilangkan bentuk kebendaan atas segala pikirannya. Namun pernyataan itu justru membuat kebingungan yang mendalam akan tesisnya sendiri, tentang segala realitas yang hadir pada kalimat-kalimat setelahnya. Sungguh betapapun persepsi itu dihilangkan dengan mengosongkan segala pikiran, ia akan tetap hadir sebagai antithesis pendapat itu sendiri. Mudah kata betapa sulit memerintahkan pikiran untuk tidak berpikir, sedangkan perintah itu sendiri adalah proses berpikir.
Pernyataan itu diperkuat dengan kegelisahan jika, ketika manusia memikirkan sebuah pemikiran yang bersifat negasi sekalipun, maka ia jatuh pada kesimpulan yang positif. Atau boleh secara jelas pernyataan tersebut dipertegas dengan keraguan dengan adanya Tuhan, maka sungguh ia justru mempertegas bahwa Tuhan sedang ia deklarasikan keberadaannya.
Mungkin pemikiran ini akan dipatahkan dengan bantahan bahwa pikiran-pikiran tersebut sangat liar dan cenderung datang secara diada-adakan. Dengan bantahan itu, saya pun mengutip satu kalimat tandas ini, Nature has apparently taught me to think this. But in addition I know by experience that these ideas do not depend on my will, and hence that they do not depend simply on me. Frequently I notice them even when I do not want to. Kalimat Descartes ini justru mempertanyakan ulang bantahan di atas bahwa atas dasar apa pemikiran harus diada-adakan, sedangkan segala realitas datang begitu saja. Atau boleh jadi, antara realitas yang wujud maupun tidak, semua akan hadir dengan bentuk yang sama, yaitu pikiran dalam akal.
Keraguan dan Kebenaran
Harus diakui, untuk menjadi satu pengetahuan haruslah muncul dari adanya sebuah keraguan. Keraguan itu juga muncul melalui banyak sebab. Atau lebih liarnya lagi, sebut saja keraguan sebagai suatu hal yang hadir secara tidak diinginkan. Dengan begitu penting juga harus mempertanyakan darimana pikiran itu hadir?, betulkah dia datang secara bawaan atau justru lahir dari realitas yang diresepsi.
Bagian ini mungkin lebih menangguhkan jawaban pada subab awal. Namun justru Descartes yang menginginkan demikian. ia sendiri mengkhawatirkan kebenarannya justru merupakan kecacatan logika yang dibuat sendiri. Pertama, jika pengetahuan itu berdasarkan realitas yang diresepsi, maka ia bersifat aposteriori, yang artinya ia hadir dari pengalaman-pengalaman yang datang. Lalu bagaimana dengan pengetahuan yang hadir justru secara spontan lahir dari sebuah momentum?. Kita tidak bisa menolak kebenaran panas hanya dengan menunggu tersulut api. Atau sebaliknya, kita tidak serta-merta menolak mengatakan entitas itu api, sedangkan kita merasakan panas yang menyulut saat api menyentuh kulit kita. Dengan demikian, ia menolak membesarkan paham yang demikian dan kembali pada keyakinannya yang awal, jika pengetahuan terdapat unsur bawaan yang menyatu dengan entitas manusia.
Bantahan untuk hal ini cukuplah sederhana. Semua kebenaran-kebenaran pengalaman hanya akan mampu berbicara lewat kebenaran dunia akal (ide) itu sendiri. Secara mudah sesungguhnya apapun yang melatarbelakanginya, sangat naif mengatakan jika realitas kebenaran ide tak terbatas. Memang dalam posisi ini cukup terkesan doktriner terhadap keimanan awal. Namun nyatanya Descartes pun mengakui seperti kaliamt pembukaan di bab 3 tersebut, bahwa sulit benar-benar objektif memikirkan sesuatu tanpa landasan awal, dengan ataupun tanpa indera sekalipun.
Anggap saja terma tentang Tuhan semisal, adalah sekumpulan ide yang diwariskan dari zaman ke zaman, atau dari generasi manusia sebelumnya hingga saat ini. Dengan begitu kita akan menemukan satu hukum kausalitas sebab-akibat akan alam semesta. Kita hadir pasti ada yang mendahului, begitu seterusnya. Lalu bagaimana jika kausalitas itu sendiri tak berujung dan benar-benar mengharuskan kausalitas itu berhenti pada sebab yang tak terbatas. Ia tidak lagi mampu dipecah menjadi entitas-entitas baru lagi, karena dia satu-satunya realitas yang tidak dilahirkan. Sampai di titik ini kita mungkin masih akan bertanya, apa benar realitas yang tak terbatas ini mewariskan satu ide, tentang Tuhan misalnya. Atau sebaliknya, justru realitas ini sendiri adalah cerminan dari kita saat ini yang sama-sama memikirkan tentang Tuhan. Keragu-raguan itu terus terus terjadi, dan sungguh membuat banyak analogi harus jatuh pada model logikanya sendiri.
Tidak bisa dipungkiri tesis Descartes ini adalah bentuk gangguan neurosis terhadap logikanya sendiri. Saya tak menyebutnya sebagai kekalahan. Justru dari tangan Descartes-lah kebenaran akan realitas tak terbatas itu hadir, sedang manusia adalah realitas yang terbatas. Ketidakberdayaan itu melahirkan tasalsul yang tak berkesudahan. Bahkan bisa dibilang sampai di titik ini saja, sungguh campur tangan Tuhan dalam pikiran manusia itu sendiri tidak bisa dilupakan, dan sangatlah logis mengatakan jika terma Tuhan yang berangkat dari keimanan awal tetaplah satu entitas yang wujud namun terhalang oleh keterbatasan logika manusia itu sendiri. The Meditations adalah karya besar yang menunjukkan jika hakikat keberadaan manusia akan ditunjukkan melalui dirinya yang berpikir. Dan sungguh, kebesaran The Meditations menunjukkan jika rasionalitas akan menemui titik kejenuhan dalam dirinya, kala relitas tak terbatas tak mampu dijangkau oleh manusia yang terbatas. Sedangkan keterbatasan itu tidak akan nampak kala manusia enggan untuk berpikir. Sebuah paradoks yang luar biasa.
Referensi
Rene Descartes, 2003 (rev). Meditations on First Philosophy (Edited by John Cottingham). Cambridge University Press.