Sebuah karya yang lahir dari proses kreatif, memang lahir tidak jauh dari kondisi lingkungan yang mendiaminya. Entah itu penggambaran langsung dari sisi penulis maupun latar yang ditampilkan, semua pastinya memiliki sisi miniatur kehidupan yang didiami oleh penulis. Bahkan karya fiksi sekalipun, tidak akan luput dari hal demikian. Tidak hanya karya sastra negeri ini, bahkan mancanegara pun begitu.
Perjumpaan saya pada karya Pak Tohari justru melalui sebuah cerita pendek “Jasa-jasa Buat Sanwirya”. Kisah pilu lakon sang penderes (penyidap nira kelapa) itu justru membawa ciri khas tersendiri, tentang Islam dan benturan tradisi masyarakat saat itu. Sungguh, Pak Tohari telah mengupas setiap latar bahasanya sedemikian rupa memdekatkan pembaca untuk kembali pada tradisi masyarakat Jawa yang terlingkup nilai Islam. Pergulatan para lakon di cerpen itu mengingatkan saya betapa kompleksnya interaksi transaksional pada masyarakat tradisional. Mereka dipukul rata dengan oleh standar kebersahajaan, namun dihadapkan oleh tantangan berat untuk menolong sesamanya. Fatalnya, adakalanya keinginan demikian tidak mendapati solusi secara tandas, melainkan hanya keributan saling lempar satu sama-lainnya. Si Sanwirya pada akhirnya harus merangas nasibnya pada tangan Si Modin daripada pinjaman uang untuk pengobatannya. Kedatangan Modin tentu saja untuk membacakan doa dan membantu proses kesembuhannya, bahkan ajalnya.
Cerpen itu walau berlatar sangat Indonesia, namun mendapat penghargaan dari Sayembara Kincir Emas Radio Nederlands Wereldomroep. Begitupun magnum opusnya, “Ronggeng Dukuh Paruk” yang saya baca setahun silam, ternyata sudah pernah diberikan penghargaan di bawah salju Den Haag dengan tiga triloginya secara lengkap dalam edisi Bahasa Belanda. Tentu kesemuanya atas dasar konsistensi kepenulisan Tohari menyoal agama dan budaya (terlebih Jawa) dalam setiap narasi ceritanya. Dengan begitu cerita-ceritanya mendapati gelombang penikmat yang stabil, atau bahkan perlahan merebak dibaca oleh kalangan masyarakat non-jawa sekalipun.
Ahmad Tohari tak melepas atributnya
Seperti yang saya katakan di awal, penulis tak bisa meninggalkan lingkungan yang membentuknya. Pak Tohari adalah kalangan terpelajar dan santri. Bapaknya seorang pegawai KUA dan sang ibu adalah pedagang. Kedekatannya pada kelompok ulama sekaligus tokoh besar, seperti halnya Gus Dur dan Gus Mus semakin menguatkan kedudukan karya-karyanya yang bernafaskan nilai-nilai agama dan budaya Jawa.
Gaya-gaya pembawaan Islam egalitarian yang ia bawa terkadang justru menimbulkan polemik di masanya. Bisa disebut masyarakat Jawa lebih dihadapkan pada kondisi pertentangan Islam dan abangan dan menimbulkan akulturasi yang terkadang condong ke salah satunya. Boleh dikata juga, walau gambaran Islam tidak begitu nampak di permukaan, namun sejatinya masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan norma Islam. Seperti halnya satu karya yang berjudul “Di Kaki Bukit Cibalak”, Tohari menggempur habis-habisan soal egalitarian, kesederhanaan, kebersahajaan orang Jawa dalam menolong sesamanya. Bahkan, ia berhasil membawa suasana pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk birokrasi dan kesibukan kemajuan orang-orang yang bersiap menjadi masyarakat urban di tahun 70-an, di kota besar, jauh dari para lakon itu hidup.
Tidak berhenti hanya di situ, dalam trilogi besarnya (pada akhirnya disempurnakan menjadi tetralogi) “Ronggeng Dukuh”, Tohari juga menyisipkan keprihatinannya pada polemik laten pada masyarakat pribumi bawah, yang tertutup, terkesampingkan, atau bahkan tak didengar sekalipun, pada gonjang-ganjing besar tragedi berdarah negeri ini Gestapu ‘65. Di sebuah desa yang asri, pedalaman, hingga akses modernitas rasa-rasanya masih melamban untuk masuk ke sana, nampak sebuah polemik besar juga terjadi. Hanya saja lingkup konflik yang besar itu tertutup oleh kebesaran gambaran tentang desa yang ayem dan tenang menurut sterotipe banyak orang.
Dalam “Ronggeng Dukuh Paruk”, masyarakat desa diceritakan masih tak bisa lepas dari permasalahan soal kekuasaan, polemik benturan tradisi dan asmara, politik yang sakral, sampai tradisi-tradisi yang masih menolak kemajuan. Mungkin dalam “Ronggeng Dukuh Paruk”, hanya Srintil dan Rasus yang menjadi lakon sentral, namun Tohari banyak menyisipkan berbagai macam model lakon yang sangat realistis soal pribumi-pribumi kelas bawah di sana. Para lakon itu menyifati sisi tenggang rasa, simpati, atau bahkan sisi antagonis ; sifat iri, dan kegemaran rasan-rasan yang cepat sekali menjadi bumbu-bumbu konflik dalam kehidupan masyarakat tradisional. Apalagi penamaan semua lakon yang sangat jawanistik, semakin menambah kebesaran penggambaran latar yang demikian.
Beranjak menuju latar lain
Dalam satu karya lain “Orang-Orang Proyek”, nampak Pak Tohari memberikan satu latar berbeda. Kabul, sang insinyur diceritakan mengalami pergolakan batin menghadapi kotornya birokrasi orang-orang proyek. Dengan latar belakang masyarakat pribumi bawah, Kabul masih tak bisa menggadaikan nilai-nilai etis dan keluhuran moralitas yang membentuknya sejak kecil. Dialog pertentangannya dengan Dalkijo atasannya, membawa banyak sarat makna akan pesan-pesan hidup.
Pada akhirnya sang lakon mempertahankan idealismenya, menolak segala gratifikasi dan korupsi atas proyek-proyek tersebut. Ia beranjak dari gemerlap kehidupan royal yang dibayangkan orang-orang terhadap sosok insinyur, menuju kehidupan kebersahajaan bersama kekasihnya Wati. Walau latar yang berbeda demikian, Pak Tohari tetap mengukuhkan nilai-nilai masyarakat pribumi jawa yang kuat. Semuanya soal, budaya, Islam, politik, hingga hal-hal yang selama ini tak tersampaikan.
Memang ciri khas itu mahal, dan pesan akan benar-benar tersampaikan melalui gejolak hidup sang penulis itu sendiri. Pak Tohari bukan hanya Jawasentris, ia layak bersanding dalam nama besar dunia. Tak berlebihan rasanya jika ia harus serupa dengan Rusia-Rusia milik Dostoyevsky, kebesaran Inggris dalam Hemingway, atau bahkan penulis-penulis besar lainnya yang masih dalam jalan idealis, sehidup-semati.
Referensi
Ahmad Tohari, 2015. “Orang-Orang Proyek”. Jakarta : Gramedia Pustaka
Ahmad Tohari, 2015. “Ronggeng Dukuh Paruk”. Jakarta Gramedia Pustaka
Pusat Data Analisis Tempo, 2022. “Terinspirasi Ahmad Tohari”. Penerbit Tempo
Ahmad Tohari, 2013. “Senyum Karyamin”. Jakarta : Gramedia Pustaka