Urgensi Manthiq dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Manthiq atau logika, adalah ilmu yang populer dipelajari dewasa ini oleh para mahasiswa pada umumnya, juga para santri yang telah lama menduduki bangku pesantren. Pada dasarnya, manthiq merupakan kata bentukan (musytaq) dari kata nathaqa-yanthiqu yang berarti berbicara. Pengistilahan logika dengan nama manthiq tidaklah salah, sebab berbicara adalah perilaku yang mestinya melalui aktivitas berfikir terlebih dahulu. Oleh karenanya, dalam hemat penulis sah-sah saja mengistilahkan logika dengan istilah manthiq dengan alasan yang telah penulis sebutkan diatas.

Dalam perjalannya, manthiq acap kali menemui jalan terjal. Sebab, tidak sedikit golongan yang menentang keras ilmu ini. Dalam khazanah keilmuan fikih misalnya, kita mengenal imam empat madzhab yang sangat populer itu yang terdiri dari Abu Hanifah, Malik bin Anas, asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Diketahui, dari keempat tokoh tersebut, Abu Hanifah adalah seorang tokoh yang sangat gemar menggunakan ilmu manthiq ini. Maka tak heran, jika beliau menghasilkan karya dalam bidang ilmu kalam yang diberinya judul dengan al Fiqh al Akbar. Kitab ini sungguh populer, bahkan ada yang menuturkan bahwa di dalam kitab tersebut terdapat 60.000 masalah yang dikupas tuntas oleh Abu Hanifah.

Dapatkan Segera Penawaran Murah Buku Best Seller karya Aziz Anwar Fachrudin : Klik di sini

Sedangkan, diketahui bahwa Ahmad bin Hanbal adalah imam madzhab yang begitu tidak pro terhadap penggunaan manthiq sebagai acuan untuk mendapatkan keputusan hukum yang tepat. Bukan tanpa alasan, sebab beliau memandang bahwa ilmu ini lumrahnya di gunakan para filosof Yunani yang tentu tidak mengacu kepada kalam yang kebenarannya absolut, yaitu al Qur’an dan Hadis. Para penganutnya pun begitu tidak pro terhadap penggunaan ilmu manthiq ini. Meski demikian, ada pula tokoh penganut madzhab Hanbali yang masih saja berbuat “nakal” dengan mempelajari ilmu manthiq ini.

Salah satunya adalah Taqiy al Din Ibn Taimiyyah. Boleh dikata, bahwa beliau adalah tokoh yang berjasa menaklukkan “keangkuhan” ilmu manthiq. Dulunya, ilmu tersebut merupakan ilmu yang begitu mengerikan di kalangan umat Islam. Karena, ilmu tersebut disangka akan menuntun kepada arah kesesatan. Ibn Taimiyyah melakukan kajian serius dan mendalam tentang ilmu manthiq ini. Hingga, suatu ketika beliau mengarang kitab khusus yang membantah manthiq yang kemudian diberinya judul dengan al Radd ‘ala al Manthiqiyyin.

Dapatkan Buku “Mantiq” terbitan Ircisod karya Aziz Anwar Fachrudin hanya di Gramedia Pustaka

Dapatkan tawaran murah saat ini juga

Berkat keberhasilannya ini, Ibn Taimiyyah pun semakin di kagumi masyarakat muslim pada saat itu. Karena saking cintanya kepada beliau, sampai-sampai tidak ada kritik dan pembaharuan pengetahuan. Apa saja yang keluar dari mulut Ibn Taimiyyah, sudah hampir semua masyarakat muslim pada saat itu akan setuju. Inilah salah satu kedigdayaan Ibn Taimiyyah dalam khazanah ilmu pengetahuan. Meski terkesan sangat sepi dari kritik dan pembaharuan, ada salah seorang tokoh yang populer dengan kitab al Itqan fi Ulum al Qur’an nya, beliau adalah Jalaluddin al Suyuthi. Dalam mukadimah kitabnya yang berjudul Shawn al Manthiq wa al Kalam ‘an Fannay al Manthiq wa al Kalam, beliau pernah mendeklarasikan ketidak setujuannya terhadap Ibn Taimiyyah.

coba

Apalagi kalau bukan masalah ilmu manthiq. Jalaluddin berkata “aku pernah mengadu kepada Ibn Taimiyyah mengaoa beliau sampai mengharamkan ilmu manthiq. Sedangkan, diketahui beliau pernah mengarang kitab tentang manthiq yang mencantumkan kaidah-kaidahnya secara rinci dan detail. Maka, dari sinilah aku tidak sepakat dengan beliau”. Yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa Jalaluddin al Suyuthi tidak sepakat dengan langkah itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah, karena Ibn Taimiyyah pernah mengkaji ilmu yang “diharamkan” tersebut.

Akan tetapi, dalam lanjutan perkataannya Jalaluddin al Suyuthi mengimbuhi dengan pernyataan “setelah dua puluh tahun berlalu. Saat ini aku telah dianugerahi Allah nikmat yang luar biasa, yaitu bisa mencapai derajat ijtihad. Maka, aku berkata bahwa sebagai syarat untuk melakukan ijtihad adalah mengerti ilmu manthiq[1]”. Kiranya, ungkapan Jalaluddin inilah yang semakin meyakinkan kita, bahwa manthiq mempunyai nilai plus tersendiri untuk mengambangkan ilmu pengetahuan. Karena, dengan adanya manthiq inilahpengetahuan akan dituntut untuk mengembangkan dirinya.

Referensi

[1]Jalaluddin al Suyuthi, Shawn al Manthiq wa al Kalam ‘an Fannay al Manthiq wa al Kalam (silsah ihya’ al Turats al Islami, t.t.) hlm. 33

Rahmat Yusuf Aditama

Kelahiran Lamongan Jawa Timur. Menyelesaikan studi sarjana Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di UIN Sunan Kalijaga, dan kini tengah melanjutkan master di jurusan yang sama. Pegiat literasi pelatihan Kitab Kuning "Al-Ghoyah" dan menjadi pengajar di Pondok Pesantren Walisongo Probolinggo.

Artikel yang Direkomendasikan

1 Komentar

  1. […] Baca juga : *Puncak Epistemologi Al-Ghazali *Urgensi Manthiq dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan […]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *