Dalam sebuah bus yang ringkih, nampak seorang pria paruh baya gamang berhadapan dengan pesan masuk di gawainya. Ia meresah, tertunduk mencoba mengunyah pesan-pesan tentang tuntutan hidup yang tak manusiawi itu dengan serat. Sesekali ia butuh meneguk air dan nafas yang longgar. Kau tahu, negeri ini sedang berhadapan dengan satu tantangan besar. Tentang kelanjutan hidup warga-warga yang seharusnya tak bersalah atas pilihannya.
Ia masih menatap gawainya, mencoba memilih diksi-diksi indah untuk meneduhkan amarah istrinya. Baginya, sungguh perjalanan ini amatlah sesak. Saat ini, uang tidak cukup hanya untuk sesuap nasi. Dalam tidurnya, ia pun harus berpikir soal esok hari, dua anaknya yang sekolah, keinginan istrinya nampak elok di mulut-mulut tetangganya, hingga ia juga harus berpikir bagaimana seluruh kebutuhan kredit harus benar-benar terpenuhi.
Semalam, kampanye-kampanye besar dinyatakan ditutup. Namun tetap saja, ia masih tak yakin soal siapapun yang menjadi pilihannya. Pemilu kali ini hanyalah perayaan demokrasi yang mungkin mengulang apa-apa yang sudah terjadi. Empat puluh tahun ia hidup, empat puluh tahun juga ia merasakan bahwa kemiskinan sudah sedekat urat nadinya. Boleh saja ia sekarang memakai seragam dinas sebagai jajaran pengawas buruh pabrik yang rapi, sepatu bot yang gagah, hingga topi proyek yang menambah wibawanya. Namun tetap saja, semua aset itu hanyalah datang sementara. Esok setelah kontrak selesai, apes sudah, ia harus berjibaku kembali bersama buruh lain untuk kembali mencari muka.
Dalam pikiran manusia sepertinya, hidup tak lebih adalah penjara yang sepi. Uang menjadi satu-satunya tema setiap waktu yang ia habiskan. Walau ia sadar, menjadi kaya adalah harapan orang bodoh yang selamanya tak akan pernah terjadi. Baginya, buruh hanyalah manusia kelas dua, sampai kapanpun. Enyahlah mulut manis para saudagar kaya yang mengatakan bahwa dirinya pernah mengalami kesulitan sesuap nasi. Ia tetap tak percaya. Baginya bekerja keras hanyalah prasyarat untuk hidup, dan buang jauh-jauh soal keinganan untuk kaya, uang melimpah, serta harapan-harapan soal manusia kelas atas yang sempat ia dambakan sejak muda.
Hidup tak jauh dari dua hal, yaitu rasa penasaran dan rasa penyesalan. Ia berulangkali menyimpan sakitnya dalam-dalam soal hingar-bingar rumah tangganya. Andai bisa mengulang waktu, mungkin ia tak akan bergegas melamar istrinya dua puluh tahun lalu. Rasa penasaran memang selalu dimulai melalui harapan-harapan. Namun nyatanya, ia kini telah merengkuh penyesalan dalam-dalam, terombang-ambing dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Menikah dengan modal keyakinan dan tabungan yang ia kumpulkan ternyata tak mencukupi untuk memenuhi standar hidup yang kian meninggi.
Kini ia menyandarkan kepala ke jendela bus yang berdebu sembari menghela nafas dalam. Sesekali ia melirik layar gawai kembali, selain menanti balasan istrinya, ia juga berharap tidak terlambat sampai di tempat proyek. Ia membayangkan betapa riuh tempat proyek hari ini ditambah lagi ia harus menelan gaji yang tinggal separuh, atas sebab kasbon yang ia ajukan akhir bulan yang lalu.
——–
Masih soal pria paruh baya, yang lain. Ia menyapu peluh berulangkali di ruang kerjanya yang tak ber-AC. Orang mungkin banyak menyangka bahwa perawakannya yang tinggi tegap, berkumis tebal, tatapan mata yang tajam, sembari menenteng beberapa badge di seragamnya adalah kehormatan besar, beruang, serta kalangan terpandang. Mungkin itu tidak salah, namun juga tak sepatutnya dikatakan benar. Seorang polisi sepertinya layak mendapatkan kehormatan sosial, tapi soal kekayaan, sejatinya ia juga manusia kelas dua.
Ia tak begitu mengikuti banyak hal, tentang dunia media dan keramaian manusia di luaran sana. Apalagi menyoal kampanye yang dinyatakan ditutup dua hari yang lalu, ia juga tak bergeming. Yang terpenting adalah tugas terselesaikan dan segera beristirahat untuk menunggu gaji awal bulan guna menyambung hidup. Ia juga tiada guna mengikuti hiruk-pikuk kampanye, toh ancaman-ancaman tegas juga menghantuinya selama ini.
Asal kalian tahu, ia akhir-akhir ini justru tengah disibukkan untuk diam. Tak selamanya juga polisi selalu buruk seperti yang dikata banyak orang. Apalagi polisi sepertinya, menjadi polisi sektor kecamatan kecil yang berulang kali ditugaskan di titik-titik keramaian pasar dan terminal. Tidak adil memang jika dirasa. Beberapa waktu lalu, berita simpang-siur soal polisi tiada henti bermunculan di media, semua berkutat seputar pembunuhan, narkoba, hingga korupsi-korupsi yang berantai. Dengan tudingan-tudingan semacam itu, ia hanya berseloroh dan memilih untuk menghindari hal-hal yang riskan memicu kekacauan.
Polisi sepertinya tidaklah kaya. Sungguh, ia tetaplah manusia kelas dua yang dipekerjakan sama halnya dengan buruh di pabrik-pabrik itu. Sebulan yang lalu, tiga putrinya juga sama-sama memasuki semester baru, tingkat menengah dan atas. Lagi-lagi soal uang. Ia tak bisa hanya mengandalkan gaji awal bulan atau tunjangan kerja. Apalagi sebentar lagi, tiga tahun lagi, putri sulungnya hendak masuk kuliah. Walau istrinya seorang bidan, nyatanya penghasilan keduanya juga harus benar-benar diolah sedemikian rupa untuk mencapai ketercukupan.
Kini ia beranjak dan menanggalkan rompinya sembari menyalakan kipas dinding. Di luar, sungguh bising orang-orang terminal yang kembali datang kemari, menanyakan dirinya dan para polisi lain yang tak segera sigap menyelesaikan kasus pencurian di terminal. Kasus-kasus seperti ini sungguh menjengahkan. Namun bagaimanapun juga sulit sekali melacak hal-hal semacam itu. Toh juga beberapa rekan kerjanya tak begitu bersemangat, paling-paling juga menjadi kasus yang mangkrak.
Ia selalu berurusan dengan orang-orang pasar dan terminal yang demikian, semua seputar pencurian, lahan parkir, hingga bandit-bandit penjual miras oplosan. Justru polisi yang demikian lebih dekat dengan manusia kelas bawah, yang tak terlihat dan benar-benar termarjinalkan. Ia tak pernah berurusan dengan kasus pembunuhan kelas kakap, korupsi milyaran para pejabat yang berantai, hingga mengatasi perlindungan atas kasus kebijakan-kebijakan istana yang ditentang.
Kasus kemarin sore pun demikian. Beberapa saksi mata melapor padanya di kantor polsek jika telah terjadi pencurian perhiasan dan sejumlah uang dari seorang wanita penumpang sebuah bus. Uang tersebut sejumlah tujuh ratus lima puluh ribu, sedangkan perhiasan yang hilang seberat kurang lebih 2 gram. Tak ada tanda-tanda yang kuat soal pelakunya, selain hanya saksi mata mencurigai seorang penumpang yang turun dari bus dengan tergopoh-gopoh dan celingukan. Ia adalah penumpang yang duduk dekat jendela di samping wanita yang menjadi korban itu. Ia berseragam rapi seperti pengawas buruh pabrik, bersepatu bot, dan bersegera menyembunyikan topi proyeknya dalam tas sembari menghilang dalam kerumunan.
————————–
Soal pemilu esok hari, orang-orang di pasar masih tak begitu terusik. Mereka seakan tak mau tahu soal keriuhan itu. Siapapun presidennya, yang terpenting adalah kestabilan harga pasar yang utama. Angkot dan dokar-dokar di sepanjang jalanan pasar yang kotor itu dipenuhi pamflet-pamflet wajah calon presiden dan visi-misinya. Namun pasar tetaplah pasar. Di sana tak ada perdebatan panjang soal siapapun pilihan mereka. Orang-orang juga tak yakin soal apa yang mereka anut, dan semua tetap karena uang.
Pagi ini, justru keramaian disebabkan karena razia di perempatan menuju pasar. Sungguh ini kejadian yang jarang sekali terjadi, dan bahkan seseorang mengaku adalah kali pertamanya menjumpai razia di dekat pasar. Pria yang mengaku itu adalah salah satu dari sekian banyak pemotor yang melanggar ketertiban lalu lintas. Nasib apes pun menimpanya. Ia sudah berseragam rapi memakai baju dinas berwarna cokelat, dan rupanya ia adalah petugas di kantor desa. Entah pegawai negeri atau bukan, yang jelas pagi ini ia harus merogoh kantongnya lima puluh ribu atas sebab tak memakai helm. Sungguh malang memang, di pikirannya yang awalnya berisi sarapan dan segelas kopi di pojok pasar sambil mengulur jam masuk kantor, kini harus nyasar merelakan isi dompetnya yang kembang-kempis itu ke seorang polisi. Dan rupanya, kejadian itu menimbulkan sedikit terjadinya adu mulut di sana. Namun tetap saja ia kalah, yang ia hadapi adalah polisi berpostur tinggi tegap, berkumis tebal, dengan tatapan mata yang tajam.
“Aneh. Sejak kapan jalanan dekat pasar begini ada razia. Ah dasar, segitunya juga butuh duit sarapan,” ujarnya menggerutu sambil memacu motornya kencang-kencang. Menu sarapan pun raib di kepalanya. Ia pun berharap, semoga calo-calo tangan kanannya di desa segera berkabar baik hari ini.