Memiliki Ilmu menjadikan seorang manusia menjadi insan kamil. Manusia yang memiliki kebijaksanaan, keluhuran budi, serta arah hidup yang terarah. Namun, seringkali ilmu juga menjadi satu ancaman besar bagi pemeluknya. Ia menjadi satu pintu kesombongan, keangkuhan, hingga memunculkan perasaan adi daya merasa paling benar. Hingga terkadang menimbulkan dampak yang dirasa fatalistik, “berilmu semakin menjauhkan manusia dari Tuhan”.

Pernyataan di atas memenuhi catatan harian saya, kala beberapa waktu diskusi-diskusi di kelas perkuliahan Kalam dan Tasawuf menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang mencerahkan. Kesimpulan-kesimpulan itu seakan mempertanyakan ulang bahwa sudah benarkah perjalanan ilmu ini akan bermuara pada muara insan kamil yang sering menjadi bahan perbincangan dalam diskusi-diskusi kami?. Pertanyaan itu juga semacam menyegarkan ulang ingatan bahwa, adakalanya muara ilmu tidak lagi membawa pada kesadaran spiritualitas dalam diri manusia. Mudah kata, mengejar ilmu seringkali melupakan bahwa pengetahuan akan Allah Swt dan mengejawantahkan segala kebesaranNya dalam setiap laku tindakan kita adalah muara akhir dari segala pencarian.

Tulisan ini tidak lebih dari sekedar catatan, namun saya lebih menyebutnya sebagai refleksi. Semua atas sebab, kiranya perlu dalam laku hidup kita, terselip proses menanyakan ulang serta hakikat keberadaan kita. Tidak berlebihan sesungguhnya, Wabil Khusus seperti kami semua yang berstatus sebagai para pencari ilmu, setidaknya telah menyadari kelimpungan muara tersebut. Semacam terus meresahkan, masihkah Tuhan terlibat dalam perjalanan ini?.

Mendaras Kembali Dzikir

Secara definitif kita semua pastilah memahami bahwa dzikir adalah proses mengingat Allah Swt. Mungkin lebih umumnya makna ini bisa dikatakan semacam serangkaian ibadah, ritual-ritual untuk menjalin kedekatan dengan Allah Swt. Kata dzikir merupakan bentuk mashdar yang berasal dari fi’il madhi dzakara yang berarti mengingat, menyebut atau mengisyaratkan. Dzikrullah artinya berdzikir  kepada Allah, dengan maksud selalu mengingat dan menyebut nama Allah sebagai Dzat yang harus disembah. Amin Syukur dalam bukunya menyebutkan bahwa dzakara bisa bermakna ingat, mengambil pelajaran, memperhatikan, mengenal atau megerti. Di dalam Al-Qur’an, kata dzikir dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 280 kali. Dalam Al-Qur’an, dzikir memiliki pengayaan makna yang banyak, seperti dzikir yang berarti membangkitkan daya ingat yang dijelaskan dalam QS Ar-Ra’d ayat 28 dan dzikir yang berarti mengingat akan hukum- hukum Allah yang dijelaskan dalam QS An-Nahl ayat 90. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa dzikir yang paling baik adalah dzikir yang diamalkan oleh beliau dan oleh Nabi-Nabi sebelum beliau, yakni la ilaha illallah.

Beberapa ulama’ memaparkan pendapatnya terkait dzikir. Hasbi ash-Shiddiqi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzikir ialah menyebut nama Allah SWT dengan membaca tasbih, tahlil, tahmid, istighfar dan membaca do’a-do’a dari Para Nabi. Ibn Atha’illah berkata bahwa sumber kebahagiaan terletak pada jiwa yang berdzikir dengan selalu mengingat Allah dan buah dari pada berdzikir adalah kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kebahagiaan. Sebab berdzikir akan menghidupakan jiwa yang mati serta dapat menumbuhkan semangat untuk beribadah kepada Allah. ‘Aid al-Qarni mengatakan bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan hendaknya seseorang memiliki hati yang selalu bersyukur, lidah yang terus menerus berdzikir serta tubuh yang senantiasa bersabar, karena sikap syukur, dzikir dan sabar akan mendatangkan nikmat dan ganjaran. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa hati dapat berkarat sebagaimana besi dan perak, sedangkan alat pembersih hati ialah dzikir. Dzikir dapat membuat bersih hati, sehingga dia jadi seperti cermin yang bersih. Apabila seseorang meninggalkan dzikir maka hatinya akan berkarat dan apabila dia berdzikir, maka hatinya akan bersih. Pembersih berkaratnya hati dapat dipicu oleh dua perkara, yaitu istighfar dan dzikir.

Sedangkan secara istilah, yang dimaksud dengan dzikir ialah ucapan lisan, gerakan raga maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dzikir memiliki makna yang luas dan mendalam, mencakup pengingatan akan Allah, hukum-hukum-Nya, serta pengabdian kepada-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Ini merupakan salah satu praktik spiritual yang sangat penting dalam Islam. Dengan memahami makna-makna yang terkandung dalam dzikir, seorang muslim dapat menghayati praktik dzikir dengan lebih dalam dan bermakna. Dzikir bukan hanya sekedar pengulangan kata-kata, tetapi juga merupakan sarana untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Allah, memperbaiki karakter dan perilaku, serta mendapatkan ketenangan dan keberkahan dalam kehidupan ini.

Dari Lahiriyah Menuju Urgensi Batiniyah

Definisi-definisi di atas setidaknya telah menguatkan kembali pada kebutuhan pemahaman kita, bahwa dzikir adalah jalan taqarrub mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan bentuk-bentuk formil melalui amaliyah-amaliyah lisan maupun selainnya. Namun, definisi itu justru membawa perjumpaan saya pada konsep dzikir yang menjawab tantangan pada keresahan-keresahan di awal. Konsep yang tidak hanya sekedar keterbutuhan jawaban akan formalitas dzikir, melainkan jauh kepada proses menembus batas-batas lahiriyah, yang menurut argumen saya pribadi hal itu sangatlah relevan untuk menjadi instrumen terbaik bagi manusia di zaman saat ini.

Sang Sufi besar, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam Sirrul Asrar karanganya memberikan penuturan bahwa dzikir tidak serta-merta persoalan lahiriyah. Dalam penuturannya, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani membedakan tingkatan dzikir, yang masing-masing memiliki cara tempuh yang berbeda-beda pula. Beberapa di antaranya diungkapkan secara lahiriah dengan suara yang dapat didengar dan beberapa lagi dengan menggunakan perasaan batin yaitu dengan diam dari pusat hati. Dzikir yang diungkapkan dengan mulut merupakan wujud manifestasi dari hati agar tidak melupakan Allah SWT. Pada tahap permulaan, hendaknya dzikir diungkapkan dengan kata-kata yang diingat. Kemudian tahap demi tahap menyebar ke seluruh jasad, menurun ke hati kemudian naik ke jiwa, hingga mencapai alam rahasia, kemudian ke tempat persembunyian yang tersembunyi dari yang paling tersembunyi.

Dalam tahapan tersebut, betapa jauh ingatan kepada Allah karena tingkatan yang dicapai semata-mata bergantung pada keluasan karunia Allah yang ditunjukkan pada seseorang. Ingatan yang diucapkan dengan lisan dalam bentuk kata-kata hanyalah sebuah pernyataan bahwa hati tidak melupakan Allah. Sedangkan ingatan batin yang diam adalah sebuah gerakan emosi. Ingatan hati adalah ingatan yang dilakukan dengan cara merasakan dalam diri sendiri manifestasi Kemaha-Kuasaan dan Keindahan Allah SWT. Ingatan pada tingkat alam rahasia adalah yang diterima dari hasil melihat rahasia-rahasia ilahiyah. Dzikir pada tingkatan ini lahir melalui dzauq yang dapat dirasakan dengan cara melihat rahasia- rahasia Allah. Sedangkan dzikir pada tingkatan terakhir adalah dzikir khafi al-akhfa, yakni tingkatan tertinggi dari dzikir yang tersembunyi dari yang paling tersembunyi. Dzikir seperti ini akan membawa pada keadaan fana’ atau lenyap diri dan perasaan serta berpadu dengan Allah SWT.

Konsepsi yang bertingkat itu kemudian juga selaras dengan pendapat dari sufi besar lainnya, Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menyebutkan bahwa dzikir terbagi atas empat  macam. pertama, dzikir lisan yang tidak diikuti oleh kehadiran hati, kedua, dzikir hati yang diikuti oleh lisan yang cenderung dipaksakan; ketiga, dzikir hati yang diikuti oleh dzikir lisan yang dilakukan dengan kesadaran sendiri; keempat, dzikir yang sudah menyatu dengan hati sehingga perbuatan hati selalu berbentuk dzikir.

Dzikir-dzikir bertingkat tersebut mungkin adalah laku keseharian para penganut tradisi tasawuf, baik kelompok sufi, guru tarekat, maupun myrid-muridnya. Namun, jauh terlebih utama, konsep tersebut kita internalisasi bagi kehidupan manusia pada umumnya, yang hidup dalam dunia yang serba materi, kebisingan, hingga ketiadaan nilai spiritual. Maka, dengan proses internalisasi itu, barang tentu kedekatan dengan Allah Swt bisa ditempuh dengan kondisi yang profan semacam demikian.

Proses pengejawantahan internalisasi nilai-nilai dzikir tersebut berupa proses menghadirkan Allah Swt sebagai muara dan pengawas dalam setiap tindak perbuatan. Mungkin saja, kesibukan di dunia ini benar-benar membuat waktu kita duduk bersimpuh sangatlah terbatas, bahkan untuk menunaikan ibadah pun semacam kewajiban formal yang telah kehilangan daya nilai esensinya. Namun keterbatasan itu bukan menjadi sebab bahwa kita kehilangan kendali atas segala tindak perbuatan yang buruk dalam hidup.

Penutup tulisan ini menggarisbawahi dari luasnya pembicaraan soal kegelisahan di atas. Kita semua yang hidup, wa bil khusus saya selaku penulis dan juga lingkungan para pencari ilmu, terkadang kehilangan muara utama yaitu Allah Swt yang terlibat dalam setiap laku perjalanan. Oleh karenanya, alternatif dzikir tidak sekedar laku lisan dengan segenap lafaz-lafaz dengan disuarakan berulang, dzikir-dzikir yang lain pun perlu juga dihidupkan. Ia serupa seorang yang tetap dalam jalan lurus di tengah banyak godaan materi, seorang yang sendiri di antara keramaian, hingga orang yang khusyu dalam sepi di antara kebisingan. Ia senantiasa menghadirkan daya al-lathaif, yakni kelembutan-kelembutan dalam segala segmen kehidupan. Dan tentunya, poin terbesar dari muara itu adalah menjadikan Allah Swt tidak hanya tujuan, melainkan juga alasan utama mengapa tindakan perlu dilakukan. Dengan demikian, kita semua menjadi insan kamil yang berjiwa bersih, lembut, suci, dan selalu berorientasi pada muara kejernihan dalam dunia yang penuh materi dan kekeruhan ini. Wallahu a’lam

Referensi utama dalam “Sirr Al-Asrar” Abdul Qadir al-Jilani. Edited by Moh. Yusni Amru Ghozaly. Cairo: al-Bahiyyah al-Mishriyyah.

By Abidiyah Kamila

Mahasiswi dan Mahasantri. Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *