Dalam Al-Qur’an terdapat klasifikasi ayat yang terbagi dalam dua kelompok, yakni Muhkam (sesuatu yang sudah jelas dan hanya sedikit membutuhkan penjelasan) dan Mutasyabih (sesuatu yang masih samar dan membutuhkan banyak penjelasan). Klasifikasi ini bukan merupakan konsep yang berangkat dari ijtihad para ahli ilmu Al-Qur’an dan tafsirnya, melainkan merupakan sebuah narasi yang diusung oleh Al-Qur’an itu sendiri. Narasi ini terdapat dalam QS. Ali ‘Imran : 7.
“Dialah (Allah) yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad). Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan pada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan keraguan) dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ulul albab”.
Demikianlah narasi Al-Qur’an yang menjelaskan tentang klasifikasi ayat. Ibn Jarir al-Tabari (w. 923 M) meresepsikan, bahwa ayat tersebut mempunyai dimensi yang menarik. Bagaimana tidak, dalam tafsirnya yang bernama Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Ayi Al-Qur’an ia cukup banyak memberikan perhatian kepada tiga terminologi yang terdapat dalam ayat tersebut: Muh}kamat, Mutasyabihat dan Hunna Umm al-Kitab. Dalam tafsirnya itu pula, al-Tabari banyak mengutip pendapat para ahli ilmu Al-Qur’an dan tafsirnya yang berada di zaman sahabat dan tabiin.
Penafsiran Mengenai Muhkamat
Sebagaimana yang telah disampaikan di muka, bahwa yang dimaksud dengan Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas dan hanya sedikit membutuhkan penjelasan. Hal demikian juga senada dengan apa yang disampaikan oleh al-T}abari dalam tafsirnya. Ia mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas dan rinci dalam menetapkan sesuatu, sekaligus jelas dalam menetapkan dalil tentang halal dan haram, wa’d (janji) dan wa’id (ancaman), thawab (ganjaran),‘iqab (siksa) dan lain-lain. Penafsiran al-Tabari mengenai istilah ini juga terdukung oleh ahli tafsir sekaligus ahli bahasa yang bernama al-Zamakhsyari (w. 1143 M). Dalam tafsirnya, al-Kasysyaf ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Muhkamat adalah ayat yang jelas redaksi dan maknannya, sehingga mudah untuk dihafalkan.
Berbeda dengan al-Tabari yang terkesan tidak banyak memberi komentar terhadap Muh}kamat, al-Zamakhsyari justru mempersoalkan tentang pemaknaan Muhkamat itu sendiri. Ia menyitir sebuah pertanyaan “apakah seluruh ayat Al-Qur’an termasuk Muhkamat?”. Pertanyaan ini kemudian dipersoalkannya kembali dengan sebuah statement yang berbunyi “jika memang seluruh ayat Al-Qur’an itu Muhkamat, niscaya manusia akan senantiasa bergantung dengannya, sebab redaksinya mudah untuk dirujuk. Sekaligus, dengannya mereka akan menjelaskan argumentasi (dalil) yang mereka butuhkan”. Argumentasi yang disampaikan oleh al-Zamakhsyari ini seakan-akan mengarahkan kepada tawaran klasifikasi ayat yang disampaikan oleh QS.[3]:7 ini. Sebab, faktanya ternyata begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang maknanya masih samar dan membutuhkan banyak penjelasan (Mutasyabihat).
Penafsiran Mengenai Mutasyabihat
Jika sebelumnya al-Tabari terkesan tidak banyak berkomentar mengenai Muhkamat, maka dalam hal ini al-Tabari justru terkesan eksploitatif terhadap beberapa spekulasi pemaknaan Mutasyabihat. Tercatat, al-Tabari banyak menyuguhkan riwayat dari generasi sebelumnya dalam mengelaborasi makna Mutasyabihat. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa yang dimaksud dengan Mutasyabihat adalah sesuatu yang mempunyai perbedaan dalam makna. Jadi, yang dikehendaki dengan Mutasyabihat adalah ayat yang mempunyai beberapa spekulasi makna dan tidak terpacu hanya pada satu pemaknaan saja. Dalam riwayat yang lain juga diceritakan, bahwa yang dimaksud dengan Mutasyabihat adalah sesuatu yang sudah usang (al-Mansukhat). Secara eksplisit, riwayat ini senada dengan apa yang disampaikan oleh al-Zamakhsyari di atas. Jika, yang dikehendaki dengan Mutasyabihat adalah sesuatu yang telah usang (al-Mansukhat), maka yang tersisa dalam Al-Qur’an hanyalah ayat-ayat yang Muh}kamat saja. Akan tetapi, al-Tabari dalam hal ini tidak mempersoalkan masalah ini. Tidak lebih, ia hanya menyodorkan sebuah riwayat yang menyatakan demikian. Riwayat lain juga menyebutkan, bahwa manka dari Mutasyabihat adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah semata, dan tidak diketahui oleh selain-Nya. Ini sejalan dengan salah satu kaidah fikih yang berbunyi “maqasid al-lafz ‘ala niyyat al-lafz}” (yang paling tahu terkait dengan teks adalah sang pembuat teks). Untuk penafsiran yang ketiga ini pul nanti akan di elaborasi lebih lanjut pada sub bab selanjutnya.
Berbeda dengan al-Tabari yang dalam penafsiran mengenai lafaz ini sangat eksploratif. Al-Zamakhsyari justru terkesan tidak banyak berkomentar. Ini dibuktikan dengan penafsirannya yang justru terkesan seperti hanya mengalihbahasakan makna dari lafaz Mutasyabihat. Terbukti, al-Zamakhsyari hanya mengatakan bahwa yang dikehendaki dengan pemaknaan lafaz tersebut adalah Muhtamilat (ayat yang memuat banyak makna). Penafsiran yang disodorkan oleh al-Zamakhsyari hanya terbatas pada makna itu dengan tidak memberikan penafsiran lain.
Penafsiran Mengenai Hunna Umm al-Kitab
Mengenai penafsiran terhadap lafaz ini, pertama-tama al-Tabari menegaskan bahwa dhamir(kata ganti) yang berupa lafaz hunna, merujuk kepada ayat Muhkamat. Sehingga, jika dijabarkan akan berbunyi “adapun (ayat Muhkamat) itu merupakan umm al-kitab”. Terkait dengan istilah umm al-kitabsendiri, al-Tabari menjelaskan bahwa yang dikehendaki dengan istilah tersebut adalah esensi dari Al-Qur’an yang berisi tentang pilar-pilar agama, kewajiban dan batasan. Sebagai tokoh yang terkesan selalu konfrontatif dengan pikiran al-Tabari, kali ini al-Zamakhsyari tidak menampakkan konfrontasinya terhadap apa yang telah disampaikan oleh al-Tabari. Dalam arti lain, al-Zamakhsyari sepakat dan tidak banyak memberi komentar mengenai penafsiran terhadap lafaz ini.
Ayat Mutasyabihat : Siapa Yang Berhak Mengetahuinya?
Jika penafsiran sebelumnya terkesan tidak ada kontradiksi di antara keduanya, maka dalam hal ini keduanya mempunyai konsep penafsiran yang bisa dibilang saling kontradiktif. Mengenai siapa yang berhak mengetahui takwil/tafsir dari ayat Mutasyabihat, al-Tabari dengan jelas menyatakan bahwa yang berhak mengetahuinya hanyalah Allah semata. Penafsiran ini berangkat dari narasi ayat selanjutnya yang berbunyi “wa ma ya’lamu ta‘wilahu illa Allah” (tidak ada yang dapat mengetahui takwilnya, kecuali Allah). Adapun redaksi selanjutnya yang berbunyi “wa al-rasikhuna fi al-‘ilm yaquluna amanna bih” (dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan mendalam berkata kami beriman kepadanya) merupakan redaksi yang terpisah dari redaksi sebelumnya. Dalam arti lain, lafaz “wa al-rasikhun” menjadi mubtada’(alenia baru) yang itu tidak mempunyai korelasi makna dengan redaksi sebelumnya. Berdasarkan argumentasinya ini, al-Tabari menyimpulkan bahwa yang berhak mengetahui penakwilan dari ayat Mutasyabihat hanyalah Allah semata.
Itu sama sekali berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari. Ia justru mempunyai pandangan yang sebaliknya. Dalam al-Kasysyaf nya, ia mengatakan bahwa “wawu” yang terdapat pada lafaz “wa al-rasikhun” itu merupakan harf ‘atf (huruf sambung). Ini tentu mempunyai konsekuensi makna yang berbeda dengan apa yang telah disampaikan al-Tabari. Sebagai konsekuensi dari penafsiran al-Zamakhsyari ini, maka akan timbul pemahaman bahwa yang berhak mengetahui takwil dari ayat Mutasyabihat adalah Allah dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam. Bagi al-Zamakhsyari, orang yang mengetahui pengetahuan yang mendalam secara otomatis tidak akan menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan keinginan mereka tanpa mematuhi rambu-rambu keilmuan.
Wallahu a’lam
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dari tulisan Sahiron Syamsuddin yang berjudul “Muhkam and Mutashabih : An Analytical Study of al-Tabari’s and al-Zamakhshari’s Interpretation of Q.3:7”.