Filsafat

Eksistensialisme Berketuhanan: Jawaban Syaikh Sa’id Al-Bouthi Atas Problematika Kehendak Bebas Dalam Islam

Tulisan ini akan penulis buka dengan beberapa pertanyaan kausalistik seperti, apakah manusia benar-benar berkuasa atas kehendak dirinya? Jika demikian, apa fungsi keberadaan Tuhan sebagai pengatur kehidupan manusia? Ataukah sebaliknya, Tuhanlah yang berkuasa penuh atas hidup manusia? Namun, jika memang kehendak dan takdir Tuhan berlaku secara mutlak terhadap gerak-gerik dan kehidupan manusia, lantas apa guna akal-budi yang manusia miliki sebagai landasan yang mendorong berbagai aktifitas dan keputusan manusia? Juga apa lantas urgensi surga dan neraka sebagai imbalan dan konsekuensi atas perbuatan manusia kelak? Dalam diskursus filsafat, pertanyaan-pertanyaan barusan adalah “rumusan masalah” yang menjadi fondasi diskusi dalam sebuah aliran filsafat bernama eksistensialisme.

Secara etimologis, “eksistensialisme” berasal dari kata dasar “eksis”. Kata “eksis” ini sebenarnya sudah cukup familiar di telinga kita. Barangkali kita sering mendengarnya dari ungkapan masyarakat sehari-hari, yang dimaksudkan untuk mengungkapkan sebuah keberadaan, keaktifan, kemenonjolan, maupun pengaruh suatu hal dalam fenomena keseharian. Apa yang masyarakat persepikan terhadap istilah “eksis” tersebut sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dalam filsafat diskusikan perihal tema-tema eksistensialisme.

Dalam filsafat, eksistensialisme adalah sebuah aliran pemikiran yang berfokus pada manusia sebagai wujud yang eksis di muka bumi. Eksis di sini dipahami secara lebih dalam, yakni manusia yang tidak sekedar ada/hidup, tetapi adalah manusia yang juga berkuasa dan berdaulat penuh atas kehendak dirinya untuk mengontrol segala gerak-geriknya dalam kehidupan (Kleinman, 2013).

Para pemikir eksistensialisme disebut eksistensialis. Oleh karenanya, dalam aliran filsafat eksistensialisme yang paling umum, para eksistensialis itu kerap sampai pada kesimpulan menafikan, atau paling tidak mengenyampingkan, keterlibatan atau pengaruh Tuhan terhadap kehidupan manusia. Sebab dapat dimengerti, dengan melibatkan Tuhan dan mempertimbangkan eksistensi-kontroliknya terhadap manusia, itu hanya akan membuat kehidupan ini seolah menjadi tak ada artinya. Mereka beranggapan bahwa tidak logis jika jelas-jelas faktanya manusia diberi otak untuk berpikir, mengolah, dan membuat keputusan-keputusan dalam hidup, namun seiring dengan hal itu manusia “dipaksa” untuk mengakui keberadaan Tuhan yang mengatur seluruh sendi dalam kehidupannya. Atau, para eksistensialis itu menganggap tidak adil jika surga dan neraka diciptakan untuk menjadi ganjaran dan balasan terhadap manusia atas tindakan-tindakan yang itu sebetulnya bukan berasal dari keinginan dan kesadaran manusianya sendiri, tapi kehendak dan kuasa Tuhan.

Dengan karakter pemikiran seperti itu, dapat dimaklumi jika kemudian aliran eksistensialisme ini paling banyak melahirkan benih-benih atheisme. Lihat saja nama-nama besar filsuf eksistensialis yang memiliki rekam jejak intelektual “bersitegang” dengan Tuhan, seperti Friedrich Nietzsche, yang terkenal dengan semboyannya, “God is Dead”, yang ia tulis dan kampanyekan argumennya dalam bukunya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra. Juga nama besar lain seperti Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan ungkapannya, “Hell is other people”, yang ia tulis dalam karyanya yang berjudul No Exit. Kita juga mengenal sosok Rene Descartes dengan slogan masyhurnya, “cogito ergo sum”, yang berarti “aku berpikir, maka aku ada”, dan masih banyak lagi.

Dalam tulisan ini akan disajikan sebuah konsep pemikiran tentang relativitas keimanan antara kehendak bebas manusia dengan takdir-kuasa Tuhan. Adalah Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Bouthi, ulama sekaligus pemikir Islam asal Suriah, yang memiliki tawaran wacana tentang tema ini, yang kemudian penulis istilahkan sebagai “eksistensialisme berketuhanan”. Yakni sebuah konsep eksistensialisme yang tidak sama sekali membantah takdir Tuhan, namun juga di sisi lain “menghargai” eksistensi manusia sebagai entitas yang ber-akal budi.

Menyeleksi Kehendak

Dalam kitabnya yang berjudul Hurriyyatul Insan fi Dhilli ‘Ubudiyatihi Lillah, Al-Bouthi menjelaskan sebuah konsep keimanan tentang eksistensialisme atau “kebebasan” manusia (huriyatul insan) di hadapan kekuasaan Tuhan yang relevan dengan teologi Islam. Bagaimanapun, sebagai pemeluk Islam, kita meyakini bahwa agama Islam adalah agama yang moderat. Hingga, moderat yang hendak dipahami dalam konteks eksistensialisme di sini adalah moderat dalam keberimanan bahwa teologi Islam telah memberikan proporsionalitas yang ideal antara keasadaran akan kehendak bebas manusia di satu sisi, sekaligus pengakuan akan kekuasaan Tuhan di sisi yang lain.

Dalam kitabnya, mula-mula Al-Bouthi menguji problem tersebut dengan melakukan seleksi terlebih dahulu terhadap status dari kehendak bebas manusia yang dipersoalkan. Yakni, apakah yang dimaksud dengan kehendak bebas itu adalah sebuah kehendak manusia untuk keluar dan terbebas dari tekanan eksternal (al-qosr al-khoriji), yakni sebuah tekanan yang berasal dari luar diri manusia yang dominan bersifat distraktif-reduksionis terhadap kenyamanan hidup manusianya, ataukah kehendak bebas yang dimaksud itu adalah ambisi kebebasan untuk keluar dari tekanan internal diri (al-qosr ad-dakhili), yakni sebuah tekanan atau dorongan untuk keluar dan berontak dari naluri kebaikan yang secara alami terpatri dalam nurani manusia?

Menurut Al-Bouthi, jika kehendak bebas yang dimaksud itu adalah kategori keterbebasan yang kedua, maka itu tidak mungkin dan Islam tidak mentolelirnya. Sampai di sini kita menyadari, bahwa Islam mengakomodasi kehendak bebas manusia selama kehendak tersebut tidak “membantah” naluri dan nurani akan kebaikan (Al-Bouthi, 1992). Dalam Islam, sesungguhnya kita dibuat sadar, bahwa seorang penjahat yang sudah terlampau keji pun, dalam nurani terdalamnya, ia hakikatnya tetap mengakui bahwa kejahatan yang ia perbuat itu adalah sebuah keburukan. Ia tak bisa berbohong untuk menampik kuatnya cahaya kebenaran yang ada dalam hatinya.

Memahami Takdir: Qadla’ dan Qodar

Argumentasi Al-Bouthi berikutnya, yang menegaskan bahwa eksistensialisme itu mungkin dalam Islam sembari tetap bertuhan, adalah melakukan desain ulang terhadap konstruksi keimanan kita akan doktrin qadla’ dan qodar atau takdir Allah. Barangkali masih banyak dari umat Islam yang memiliki pemahaman bahwa takdirAllah itu berkait erat dengan kehendak, kontrol, hingga “paksaan” Allah terhadap perilaku dan kehidupan manusia, sehingga wajar jika kemudian takdirini menjadi antitesis eksistensi manusia. Ketika mendengar kata takdir, yang terlintas di pikiran adalah sebuah pemaksaan yang cenderung otoriter dari Allah. Menurut Al-Bouthi, cara mengimani takdirseperti itu tidaklah benar.

Al-Bouthi menegaskan, bahwa sesungguhnya tidak ada hubungan maupun kaitannya antara takdirAllah dengan keotoriteran Allah. Justru, terang Al-Bouthi, takdirAllah berkait erat dengan sifat ‘ilmu­-nya Allah. Al-Bouthi menjelaskan, pemahaman yang benar atas takdir Allah adalah bahwa hal tersebut sebagai pemberitahuan, maklumat, kepada manusia bahwa segala hal yang manusia lakukan dan alami dalam kehidupan ini sudah diketahui, berada dalam cakupan luas sifat ‘ilmu-nya Allah terlebih dahulu (Al-Bouthi, 1992).

Sehingga, pintu pemahaman terhadap takdir yang notabene menjadi titik bentur dalam perdebatan eksistensialisme, akan menjadi mungkin untuk dimasuki sebagai celah yang kemudian dapat mengintegrasikan teologi Islam dengan eksistensialisme, yang penulis sebut sebagai “eksistensialisme berketuhanan”.

Referensi:

Al-Bouthi, Sa’id Ramadhan. Huriyatul Insan fi Dhilli ‘Ubudiyatihi Lillah. (Damaskus: Dar el-Fikr, 1992).

Kleinman, Paul. Philosophy 101: From Plato and Socrates to Ethics and Metaphysics, an Essential Primer on the History of Thought. (Avon: Adams Media, 2013).

Santri dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Tinggal di Yogyakarta serta menulis di beberapa media massa. Bisa ditemui melalui Twitter/X @harish_farabi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *