Mendefinisikan Filsafat Sejarah
Filsafat sejarah terdiri dari dua kata, pertama yakni filsafat, kedua “sejarah”. Kata Filsafat berasal dari kata falsafah yang mempunyai arti hikmah,[1] falsafah adalah kata diluar kosakata bahasa arab atau istilahnya dikenal dengan kata yang mu’arrab. Kata falsafah meminjam dari kata yang berasal dari Yunani yaitu philosophia[2] yang berarti kecintaan pada kebenaran (Wisdom). Philosophia lalu digeser logat bahasanya ke Bahasa Indonesia menjadi filsafat atau filosofi. Filsafat memiliki definisi yang sangat banyak dan bervariasi. Filsafat pada awalnya bermakna al-hikmah. Al-Arabi dalam kitabnya fushus al-hikam mengemukakan bahwasanya yang dimaksud al-hikmah ialah proses mencari hakikat suatu perbedaan.[3] Menurut al-Raghib, yang dinamakan al-hikmah ialah memperoleh kebenaran dengan perantara ilmu dan akal.[4] Pengertian dari filsafat semakin berkembang seiring dengan majunya zaman. Intinya makna jadi dari filsafat setelah melalui berbagai macam variasi adalah: Hasil dari akal dan pemikiran manusia yang mencari dan mendalami sedalam dalamnya sesuatu. Jadi filsafat adalah ilmu tentang mempelajari kebenaran hakikat sesuatu dengan sungguh sungguh[5]
Sejarah dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tarikh. Ada juga yang mengatakan bahwa sejarah diambil dari dari istilah syajarah. Sejarah adalah semua hal yang telah terjadi di masa lalu, baik perorangan, kelompok, negara bahkan dinasti. Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu, baik berupa apa yang difikirkan, dikerjakan, dirasakan, dan semua hal yang terjadi di masa lalu. Akan tetapi perlu dipertegas, bahwa cerita masa lalu, membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu, sejarah dipelajari agar dapat mengambil ‘ibrah.[6] Oleh karena itu, jangan belajar sejarah kalau tidak ingin mencari ‘ibrah di dalamnya.
Gabungan antara definisi dari “filsafat” dan “sejarah” bakal menjadi definisi filsafat sejarah. Banyak sekali para pakar yang mendefinisikan tentang filsafat sejarah, singkatnya, filsafat sejarah menurut hegel ialah ilmu yang mempelajari perkembangan dan penyebaran hukum-hukum tentang dasar kebangkitan atau runtuhnya bangsa. Dengan kata lain, filsafat sejarah ialah ‘ibarah tentang suatu pandangan terhadap kenyataan sejarah yang di lihat dari segi filsafat.[7]
Dalam perkembangannya, filsafat sejarah mempunyai beberapa pegiatnya, hal ini tak terlepas dari pengaruh filsafat, pengertian dari filsafat sendiri tergantung dari mana asal usul rahim filsafat, ada filsafat barat, filsafat timur, dan juga filsafat Islam. Meskipun dalam prosesnya, filsafat dari segala macam arah masih terpengaruh dari induk asal filsafat, yakni dari Yunani. Melihat dari problem tersebut, maka perspektif sejarah filsafat terbagi menjadi tiga, yakni barat, timur dan islam.
Filsafat Sejarah Timur
Secara teritorial, filsafat timur dibagi menjadi dua, pertama, filsafat timur dan filsafat timur tengah. Filsafat timur adalah tradisi falsafi yang berkembang di Asia, khususnya di India, cina dan wilayah asia yang dipengaruhi budayanya. Ciri khas filsafat timur adalah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Sementara filsafat timur tengah bisa dikatakan ia adalah ahli waris tradisi filsafat barat. Sebab, jika dilihat dari sejarahnya, para pegiat filsafat timur tengah adalah mereka yang telah menaklukkan daerah sekitar laut tengah dan menemukan kebudayaan Yunani dan tradisi falsafi mereka. Uniknya, bangsa eropa disaat runtuhnya kekaisaran romawi sudah melangkah untuk melupakan ilmu filsafat mereka, para filsuf timur tengah ini malah mempelajari karya-karya filsafat Yunani, dan dikemudian hari tulisan dari filsafat timur tengah ini dibaca oleh pemikir dari barat. Adapun tokoh yang masyhur dalam filsafat timur tengah diantaranya ialah, Alvicenna (Ibn Sina), Ibn Thufail, dan al-ghazali.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa filsafat Yunani seakan menaruh batu pertama untuk pondasi filsafat timur tengah, namun tidak juga ditarik kesimpulan bahwa filsafat timur tengah itu sama dengan filsafat barat (Yunani). Memang pada dasarnya produk filsafat timur dipengaruhi oleh filsafat Yunani, namun karakterisitiknya berbeda, para pegiat filsafat timur tengah adalah mereka yang taat beragama (Religius). Berfilsafat bagi mereka adalah untuk mengembangkan pemikiran dan bersifat kritis, namun tidak melampaui batasan yang telah ditetapkan agama Islam. Bahkan mereka berfilsafat untuk menambah keyakinan tentang agama mereka, memberikan argument yang rasional terhadap nuktah yang telah tertulis di kitab suci Al-Quran. Maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa filsafat Yunani hanya sebagai pengembang dari pemikiran khazanah keislaman.
Al-Ghazali dan pandangannya terhadap filsafat
Al-Ghazali menjadi satu nama besar diantara banyak pegiat filsafat lainnya seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd. Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, beliau dilahirkan di Thus, salah satu kota di Persia (sekatang prancis) pada pertengahan abad ke 5 Hijriyah (450 H/1058 M).[8] ia adalah salah satu mutiara dalam sejarah tokoh Islam, ia diberi julukan hujjatul Islam.[9] Al-Ghazali wafat di daerahnya, yakni thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M)
link pemesanan : Mikraj Ruhani, Ihya Ulumuddin, Mukasyafatul Qulub
Kisah uzlah al-Ghazali ke gunung merupakan kisah yang sudah masyhur di dengar, narasi dari kisah itu, sebab musabbab al-Ghazali uzlah ke gunung bermacam macam, ada yang beranggapan bahwa ia memiliki segalanya akan tetapi jiwanya merasa ada yang kurang, ada lagi yang beranggapan bahwa sebab ia mempelajari filsafat. Sering orang memahami tentang pemahaman filsafat al-Ghazali dengan sebelah mata, beberapa orang beranggapan bahwa al-ghazali anti dengan filsafat, bahkan sampai menentangnya, mereka yang beranggapan seperti itu disebabkan oleh karya al-Ghazali dengan judul tahafut al-falasifah. Hal ini menurut penulis menarik untuk ditelaah lebih lanjut, diperlukan sebuah kajian untuk mengungkap kebenaran dari sikap al-Ghazali sendiri .
Melihat definisi dari filsafat, maka al-Ghazali tidak mungkin dikatakan bukan seorang filosof, mesikipun dia tidak mengetahuinya, bentuk pemikirian al-Ghazali dapat dilihat dari kitab ihya’ Ulumiddinnya yang dapat membangun argumentasi dan mengumpulkan, fiqh, syariat, tasawwuf dalam satu bangunan sebuah karya. Filsafat menurut al-Ghazali terbagi menjadi enam bagian, yaitu ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Pada hakikatnya, al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan, sebab para filsuf terlalu berlebihan dalam mengagungkan akal, pada akhirnya muncul beberapa kesimpulan dalam filsafat ketuhanan yang sudah menabrak rambu rambu syariat. Seperti halnya, alam itu azali, rekonstruksi tentang pemahaman mukjizat, tidak percaya pada wahyu. Semua argument tentang filsafat ketuhanan telah disanggah dan ditanggapi dalam karyanya tahafut al-falasifah.
Sebetulnya sikap al-Ghazali dalam filsafat secara teoretis tidak bertentangan dengan syariat, karena semuanya ialah bentuk karunia dari Allah, selain itu syariat tanpa bantuan akal tidak akan menjadi jelas. Kemudian jika ditinjau dari sisi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan akal. Kesimpulannya adalah bahwa fisafat tidak sepenuhnya disalahkan, filsafat boleh boleh saja digunakan asal si pemakai bisa mereduksi mana yang benar dan mana yang salah, kemudian filsafat juga tidak boleh bertentangan dengan syariat. Masalahnya sekarang, apakah bisa seseorang memahami agama tanpa ilmu pengetahuan dan akal?
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan jika filsafat sejarah dibagi menjadi tiga ; filsafat sejarah timur, filsafat sejarah barat, dan filsafat sejarah Islam. Pondasi dari filsafat timur ialah filsafat Yunani, akan tetapi bukan berarti filsafat timur sama dengan filsafat Yunani, sebab pegiat filsafat timur ialah kebanyakan orang orang yang religius. Al-Ghazali menuturkan bahwa filsafat itu boleh saja asal tidak melewati rambu-rambu syariat. Filsafat menurut al-Ghazali terbagi menjadi enam bagian, yaitu ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak.
[2] Moeflih Hasbullah & dedi Supriadi, Filsafat Sejarah, (Bandung, Pustaka Setia, 2012) 14
[3] Fushuh al-Hukam, 4.
[4] Faturahman Djamil, Metode ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah (Jakarta, Logos, 1997) 4
[5] Ahmad Syadali dan Mudzakkar, FIlsafat Umum, (Bandung, Pustaka Setia 1997) 11.
[6] Sartono Kartodirdjo, Teori Sejarah dan masalah historiografi Dari sejarah Samudra Pasai ke Yogyakarta (Jakarta, Yayasan Masyarakat, 2002) 5.
[7] Hegel, Philosophy of History.
[8] Ahmad Badawi Thabannah, Muqaddimah Al-Ghazali wa Ihya’ Ulumuddin (Jakarta, Maktabah Dar Al-Ihya Al-Kutub al-Arabiyah) 7.
[9] Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang 1986), 97.