Melihat realita kehidupan di era dahulu, pergerakan serta hak-hak perempuan mendapat banyak pembatasan. Pembatasan tersebut terlebih dalam ruang publik dan sosial-kemasyarakatan, sehingga hal itu tentu saja menjadi hambatan sosial. Aktivitas perdagangan dalam Jazirah Arab pada saat itu dilakukan dengan melewati padang pasir yang terik dan gersang. Kondisi pada era tersebut penuh dengan bahaya serta memerlukan kekuatan dan ketahanan fisik. Dengan melihat kondisi tersebut, partisipasi dan keaktifan perempuan dalam ranah bisnis merupakan sebuah kemustahilan.
- Baca Juga Gagasan Besar Muhammad Abduh : Manusia Khawas dan Independensi Kalam Takdir Menurut Imam Al-Ghazali: Sisi Paradoksial dan Analogi
Dengan berkembangnya zaman, perempuan memiliki latar belakang pendidikan dan potensi yang dapat memenuhi syarat untuk menjadi seorang saksi. Pada khususnya bagi perempuan yang memiliki kapabilitas dan integritas tinggi. Dalam riset dan penelitian, beberapa perempuan bahkan berhasil menuai beragam capaian dan mengukir prestasi. Tidak sedikit perempuan yang berpartisipasi serta berkecimpung dalam ranah perekonomian. Figur demikian sebenarnya dapat gambaran keteladanan dan percontohan sejak dahulu dari Siti Khadijah, istri nabi yang berbakat dan memiliki banyak pengalaman dalam dunia bisnis.
Maka dengan beberapa kualifikasi yang harus terpenuhi tersebut, kesaksian antara laki-laki dan perempuan dalam aspek muamalah memiliki nilai dan bobot yang setara yakni 1:1. Kesaksian seorang laki-laki tidak harus diganti dengan dua orang perempuan, melainkan cukup satu perempuan. Pemahaman demikian sesuai dengan nilai universal dan ideal al-Quran yang tidak membedakan pada jenis kelamin tertentu. Sebagaimana yang kita ketahui, ajaran Islam memiliki visi misi yang bersifat adil dan maslahah baik bagi laki-laki ataupun perempuan.
Pesan-pesan yang termuat dalam al-Quran seharusnya tidak mengandung pemahaman yang diskriminatif bagi salah satu jenis kelamin. Upaya pembacaan atau interpretasi yang egaliter merupakan implementasi ajaran Islam yang shalih li kulli zaman wa makan. Dalam artian, setiap ayat al-Qur’an harus mampu menghadapi beragam kondisi, tantangan dan realita modernitas yang kian kompleks.
Referensi:
Al-Razi, Fakhr al-Din. (2009). Mafatih al-Ghaib. Cet. III. Jilid IV. Daar al Kutub al Islamiyah.
Arifin, M. P. (2019). Penafsiran Kontekstual Kesaksian Perempuan. Musawa: Journal for Gender Studies, 9(1), 105–128. https://doi.org/10.24239/msw.v9i1.402
Mukhtar, N. (2011). Kontroversi Kesaksian Perempuan: Mengurai Tafsir Kesaksin Perempuan Dalam Al-Qur’an. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, V(2), 1–6.
[…] Baca Juga : Inferioritas Perempuan Dalam Al-Qur’an; Mengurai Pembacaan Egaliter Terhadap QS Al-Baqarah Ayat 28… […]