Iri Hati yang Diperbolehkan

Secara keseluruhan, para heart worker (pegiat hati) akan sepakat mengatakan bahwa iri adalah penyakit yang berbahaya bagi hati. Bagaimana tidak, iri hati layaknya senjata makan tuan yang dapat menyerang pemiliknya. Meskipun terlihat kita sedang melontarkan sesuatu kepada orang lain, justru kita sendiri lah yang terkena imbasnya. Ketika kita melontarkan iri kepada orang lain, sama halnya kita sedang meruntuhkan kebahagiaan yang berada dalam diri kita secara perlahan. Begitulah gambaran betapa bahayanya iri hati. Sehingga, tak heran jika agama melarang para pemeluknya untuk mempunyai iri hati ini kepada siapa saja.

Akan tetapi, penulis mempunyai pandangan lain terkait dengan boleh tidaknya iri hati ini. Penulis beranggapan, bahwa tidak semua iri hati dilarang oleh agama. Kisah ini mungkin akan meluaskan pandangan kita terhadap iri hati. Imam al Juwayni atau juga biasa dikenal sebagai imam al Haramain merupakan guru besar atau bahkan rektor di universitas an Nidzamiyyah yang berada di kota Naisabur. Beliau mempunyai spesialisasi terhadap beberapa ilmu pengetahuan misal : ilmu kalam, manthiq dan terutama fikih. Karya monumentalnya dalam fikih berjudul Nihayat al Mathlab fi Dirayat al Madzhab yang berhasil di cetak dalam dua puluh jilid.

Boleh dikata, imam al Haramain ini adalah guru yang paling mempengaruhi cara pandang al Ghazali. Sebab, ia belajar banyak sekali pengetahuan kepada beliau, utamanya terhadap pengetahuan yang sudah penulis singgung diatas. Al Ghazali begitu nyaman belajar dengan beliau. Hal ini dibuktikan dengan tidak berpindah-pindahnya al Ghazali mencari guru lain guna memenuhi dahaga intelektualnya. Diketahui, saking nyamannya al Ghazali belajar kepada beliau, al Ghazali tidak berpindah guru sampai beliau wafat. Inilah yang menjadi perpisahan al Ghazali dengan guru fenomenal nya itu.

Rasanya ada yang kurang jika tidak menceritakan kesan gurunya terhadap murid kesayangannya ini. Imam al Haramain dibuat kagum dengan kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki al Ghazali. Inilah yang menyebabkan gurunya begitu iri kepada al Ghazali muda[1]. Karena, hampir tidak bisa ditemukan pemuda yang semahir beliau dalam berbagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, irinya imam al Haramain, disembunyikannya dalam sukma sebagai kenangan indah karena pernah bertemu dengan murid yang sepandai al Ghazali ini. Tidak ada yang tahu terkait dengan irinya imam al Haramain kepada al Ghazali muda atas kecerdasan dan keluasan ilmunya. Dan layaknya guru pada umumnya, jika kagum dengan kecerdasan muridnya, ia tentu tidak akan mengatakan kepada muridnya secara langsung. Ini dikhawatirkan, sang murid akan merasa lebih jago daripada gurunya dan kelak akan menimbulkan rasa angkuh.

Setelah imam al Haramain wafat, al Ghazali pun kembali ke tanah kelahirannya, Thus guna menyebarkan ilmu yang telah ia pelajari kepada para ulama’ yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Dalam pendahuluan kitab al Mustashfa nya diceritakan bahwa sepulang dari Naisabur (berguru dengan imam al Haramain). Al Ghazali mendirikan dua sekolah sekaligus di saming rumahnya, yaitu sekolah fikih dan sekolah tasawuf[2]. Berdirinya sekolah tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa al Ghazali adalah tokoh yang mahir dalam berbagai ilmu pengetahuan.

Dari kisah diatas, agaknya kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua hal yang dilarang oleh agama, seperti iri hati akan berlaku selamanya. Dilarangnya iri hati oleh agama, sebab dikhawatirkan rasa kebahagiaan pemeluknya akan semakin terkikis dan kelak akan menyebabkan suasana kejiwaan menjadi berkabung. Jika iri hati justru dapat menggairahkan semangat kebaikan, mengapa harus dilarang?

Wallahu a’lam


[1] Sulaiman Dunya, al Haqiqah fi Nadhr al Ghazali (Kairo : Dar al Ma’arif, t.t.) hlm. 20

[2] Abu Hamid al Ghazali, al Mustashfa min Ilm al Ushul (Beirut : al Maktabah al ‘Ashriyyah, t.t.) juz. 1, hlm. 8

Rahmat Yusuf Aditama

Kelahiran Lamongan Jawa Timur. Menyelesaikan studi sarjana Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di UIN Sunan Kalijaga, dan kini tengah melanjutkan master di jurusan yang sama. Pegiat literasi pelatihan Kitab Kuning "Al-Ghoyah" dan menjadi pengajar di Pondok Pesantren Walisongo Probolinggo.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *