Tidak bisa dipungkiri, bahwa nabi Muhammad adalah panutan bagi seluruh umat Islam di dunia ini. Bahkan mungkin lebih dari itu, beliau juga dambaan bagi seluruh umat manusia yang ada, atau bahkan sangat mungkin beliau adalah dambaan bagi seluruh alam ini. Penulis mempunyai beberapa rujukan terkait dengan apa yang penulis singgung diatas. Pertama, al-Qur’an mengatakan bahwa “tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya’ : 107). Kedua, Michael Heart pernah menulis tentang tokoh-tokoh yang paling berpengaruh di dunia sampai dewasa ini. Ia berkesimpulan, bahwa nabi Muhammad adalah orang yang menyandang sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia.
Ketiga, penulis juga pernah menjumpai dalam tulisan Nurcholish Madjid, bahwa nabi Muhammad adalah sosok yang digadang-gadang menjadi Messiah (ratu adil) yang dalam bahasa jawa disebut sebagai Satrio Piningit dan dalam masyarakat Hindu disebut sebagai Kalky Authar. Demikian adalah bukti bahwa nabi Muhammad memamng benar-benar menjadi dambaan bagi seluruh alam semesta ini. Namun, kecintaan umat Islam (khususnya) kepada nabi Muhammad ini, agaknya harus memenuhi syarat tertentu. Syarat tersebut adalah, bahwa kecintaan terhadap nabi itu harus dilandasi dengan pengetahuan. Dengan kata lain, bahwa jangan sampai kecintaan terhadap beliau, kemudian justru mengakibatkan kita (sebagai santri, pelajar, mahasiswa) malah anti terhadap pengetahuan yang itu berfungsi sebagai penjelas dari apa yang disampaikan oleh nabi.
Nabi adalah sosok yang sangat mencintai ilmu dan orang yang berilmu yang dalam beberapa kesempatan sudah sempat penulis singgung. Singkatnya, ketika itu penulis mengambil contoh sahabat yang ahli ilmu dan itu sangat dicintai oleh nabi. Adalah Ibnu ‘Abbas, keponakan beliau sendiri yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dan tafsirnya dan al-Barra’ ibn ‘Azib, sahabat yang mempunyai kapabilitas keilmuan dalam bidang fikih selain sayyidina Ali. Meskipun ketika itu nabi menjadi dambaan bagi seluruh umat manusia, ada hal yang patut kita pertanyakan, mengapa fatwa-fatwa nabi yang menyejukkan itu malah tidak dibukukan tatkala beliau berhasil merebut hati umat manusia itu?
Sejarah mencatat, bahwa pembukuan hadits nabi (yang fatwa beliau) termasuk didalamnya, dilakukan oleh salah satu khalifah dinasti Umayyah yang bernama Umar ibn Abdul Aziz. Inilah yang di kemudian hari mengantarkannya sebagai khalifah dengan prestasi yang menakjubkan. Namun, alasan mengapa fatwa itu tidak terbukukan di zaman ketika nabi berhasil merebut hati umat manusia adalah beliau takut saat otoritasnya dalam berbagai bidang; sosial, politik, negara bahkan agama dikhawatirkan mampu mengganggu otoritas al-Qur’an sebagai kitab yang keabsolutan kebenarannya tidak bisa diganggu gugat.
Hal ini juga yang kemudian disampaikan oleh Jamal al-Banna, seorang adik dari pendiri partai Ikhwan al-Muslimin, yaitu Hassan al-Banna. Boleh dikata, pandangan kakak beradik ini sangat jauh berbeda. Sang kakak, Hassan lebih berorientasi kepada persatuan umat Islam. Sedangkan, sang adik, Jamal lebih berorientasi kepada kebebasan berpendapat. Ada salah satu terobosan baru Jamal dalam berbagai disiplin pengetahuan, salah satunya adalah terhadap fikih. Ia mempunyai karya yang berjudul Nahwa Fiqh Jadid yang menjadi landasan penulis dalam pembahasan ini. Dalam kitabnya itu, Jamal mengapresiasi pandangan tokoh sentral dalam bidang tafsir dari Mesir yang bernama Muhammad Rasyid Ridha.
Dalam salah satu pernyataannya, Rasyid Ridha mengatakan “anna ash-shahabat araduu bi ‘adam al-tadwin. An la yaj’aluu al-ahadits diinan ‘aaman daaiman ka al-Qur’an” sesungguhnya para sahabat tidak menghendaki dengan pembukuan hadis nabi. (Dengan alasan) supaya mereka tidak menjadikan hadis-hadis nabi sebagai (sumber ajaran) agama sebagaimana al-Qur’an[1]. Dengan kata lain, supaya para pecinta nabi yang berlebihan (tanpa berdasar kepada pengetahuan) itu tidak menyamakan derajat hadis/fatwa nabi dengan al-Qur’an.
Wallahu a’lam
R.Y. Aditama
[1] Jamal al-Banna, Nahwa Fiqh Jadid : al-Sunnah wa Dawruha fi al-Fiqh al-Jadid (Kairo : Dar al-Fikr al-Islami, t.t.) juz.2, hlm. 219