Secara definitif, Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata “‘ilm” yang mendasarkan maknanya pada lambang, tanda, atau petunjuk yang mampu mengenali sesuatu atau seseorang. Istilah “ma’lam” juga memperlihatkan konsep yang serupa, yaitu sebagai penunjuk jalan atau pengarah bagi individu. Dengan demikian, secara etimologis, “‘alam” mengacu pada petunjuk atau arah. Kata “ilmu” beserta variasi bentuknya disebutkan sebanyak 854 kali dalam Al-Qur’an, yang mengarah pada proses memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri.

Jika kita melihat dari segi terminologis, para cendekiawan Muslim dari masa lampau hingga masa sekarang memiliki berbagai pandangan tentang apa sebenarnya ilmu itu. Pandangan-pandangan ini mencerminkan kepedulian mendalam umat Islam terhadap makna sejati ilmu. Beberapa ulama’ tengah mengajukan berbagai definisi menyoal hal ini. Namun definisi-definisi tersebut tidak terlepas dari latar belakang keilmuan masing-masing ulama tersebut. Seperti Imam Al-Baqilani semisal, ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang esensi suatu hal sebagaimana adanya. Sementara itu, Ibnu Hazm menyatakan bahwa ilmu adalah kesimpulan yang dihasilkan oleh pikiran tentang realitas suatu objek.

Lantas bagaimana Ilmu Tasawuf merespon kepentingan definitif tersebut?. Tentu respon itu lahir atas sebab Ilmu Tasawuf tidak hanya berdiri sebagai label ilmu, namun juga respon aksi bahwa, Tasawuf melebihi dari sekedar teori-teori ilmu praktis. Dua mata air (sebagai ilmu dan sebagai instrumen laku) yang lahir dari tasawuf tersebut setidaknya menjadi  satu kegelisahan mendasar, apakah Tasawuf juga dijebak oleh paradigma-paradigma saintifik seperti ilmu yang lain?.

Kegelisahan itu justru melahirkan jawaban yang juga problematis. Akankah penjelasan definitif menyoal pengertian Ilmu dalam versi tasawuf lebih condong pada paradigma definisi-definisi formal, atau justru adalah penjelasan yang spekulatif dari pengalaman para sufi?. Tentu saya tidak bermaksud mengajak pembaca jauh ke belakang memikirkan bagaimana paradigma ilmu-ilmu Islam dilahirkan (Bayani, Burhani, Irfani). Namun, setidaknya narasi tulisan ini bisa memberi penjelasan ringkas menawarkan jalan tengah yang bermuatan formalistik dan spiritualistik atas pertentangan itu.

Definisi-definisi jalan tengah itu telah mendefinisikan ilmu dalam lingkup tasawuf , menjadi dua jalan. Ranah Formal dan spiritual. Dalam konteks Tasawuf, ilmu dibagi menjadi dua kategori utama: ilmu lahir dan ilmu batin. Ilmu lahir mencakup aturan-aturan formal dalam agama dan tindakan-tindakan yang diperlukan atau dilarang dalam kehidupan lahiriah. Sementara itu, ilmu batin menekankan pada aspek spiritual dan internal, meliputi kondisi dan posisi batin, seperti pembenaran, iman, kejujuran, dan kualitas-kualitas spiritual lainnya.

Menemui Definisi dari Sirrul Asrar

Dalam Sirrul Asrar wa Madzharul Anwar, definisi ilmu melebihi dari sekedar kebutuhan pengetahuan secara praktis. Syaikh Abdul Qodir al-Jilani membagi ilmu ke dalam empat tingkatan. Tingkat pertama dan paling dasar adalah ilmu syariat, ia berkaitan dengan aturan- aturan agama Islam dan kewajiban setiap Muslim dalam menjalankan ritual ibadah. Ia serupa instrumen-instrumen nampak yang melahirkan atribut-atribut sebuah keyakinan agama seorang muslim. Ia menajdi dasar yang harus dipijak sebelum tingkatan selanjutnya digapai.

Setelah menguasai ilmu syariat, seseorang bisa melanjutkan ke tingkat kedua, yaitu ilmu tarekat. Jika ilmu syariat berhubungan dengan aturan lahiriah, ilmu tarekat berfokus pada pengendalian batiniah, mencakup pembersihan jiwa, hati, dan perilaku agar selaras dengan ajaran Islam. Tingkat selanjutnya adalah ilmu makrifat, yang lebih tinggi lagi. Ilmu ini berkaitan dengan pemahaman intuitif dan langsung tentang kebenaran tertinggi, terutama hakikat Tauhid dan keesaan Tuhan. Ilmu makrifat membawa seseorang kepada pengetahuan dan pengalaman batin tentang sifat ketuhanan.

Selanjutnya tingkatan tertinggi adalah ilmu haqiqat, yaitu pemahaman hakiki dan sejati tentang realitas mutlak, yaitu Tuhan. Tingkat ilmu ini adalah yang paling dalam dan tinggi bagi seorang sufi menurut Syekh Al-Jilani. Hanya sedikit orang yang mampu mencapai tingkat ilmu haqiqat ini. Tentu tingkatan ini tidak serta merta bisa digapai oleh kelompok-kelompok tingkatan di bawahnya, yang mampu menggapainya adalah mereka yang terpilih serta menjadi manusia yang khawashul khawash.

Menapaki Jalan Menuju Hakikat

Tingkatan-tingkatan yang disebutkan tentu bukan sekedar klasifikasi tanpa muatan tujuan. Selain atas landasan filosofis dan saintifik, ilmu layaknya sebuah kendaraan yang menghantarkan pemeluknya menuju muara kebijaksanaan. Sehingga proses memeluk ilmu tidak hanya proses belajar memahaminya, namun juga harus berdampak pada laku spiritualitas manusia. Mudah kata, ilmu haruslah menjadi sarana manusia untuk semakin mendekatkan diri pada Allah Swt.

Menapaki jalan menuju hakikat yang adalah serangkaian perjalanan yang tidak mudah. Seperti yang diungkap dalam Sirrul Asrar, adalah hawa nafsu lawan terbesar seorang manusia dalam menjalani kehidupan dunia. Tingkat hakikat adalah tingkatan yang terbebas dari hawa nafsu. Karena tingkatan hakikat adalah tingkatan yang bisa dicapai para manusia yang bergelar mukhlash. Ia tersucikan dari semua hawa nafsu yang membelenggunya sehingga terjadi kedekatan spiritual dengan Allah Swt.

Dengan demikian, seorang manusia yang berilmu juga harus berdampak. Hemat penulis, seorang penuntut ilmu juga seorang salik, pejalan yang menapaki setiap tingkatan untuk sebuah muara kedekatan dengan Sang Maha Pencipta. Muara itu tergambar dalam kebijaksanaan, niali spiritualitas yang dikedepankan dalam setiap tingkah laku, menghilangkan ego manusiawi, hingga piranti-piranti kelengkapan lainnya yang menjadikannya seorang yang mukhlish.

Kesimpulan di atas melahirkan refleksi penting bahwa ketegangan persoalan definisi ilmu dalam kajian tasawuf tidak lagi menemui dua kutub yang terpisah; saintif atau spekulasif, formalis atau spiritualis, hingga teoritik atau pengalaman praktik. Dua kutub yang terpisah itu bisa berdampingan dalam satu rumah, satu tubuh, satu wadah, dalam diri seorang penuntut ilmu. Ia tidak hanya sebagai pemburu, melainkan seorang salik—pejalan, yang tengah menuju muara kedekatan dengan Allah Swt, Dzat yang Utama, awal dari segalanya, dan yang mengetahui segala rahasia semesta. Wallahu a’lam

Referensi : Lihat selengkapnya dalam magnum opus Sirrul Asrar Wa Madzharul Anwar Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

By Jafar Rais Abdurrahman

Mahasiswa dan Mahasantri. Menyelesaikan Kuliah Ushuluddin di Omdurman Sudan dan kini melanjutkan studi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *