Kepemimpinan Perempuan di Ranah Publik

Catatan sejarah sejak abad ke 14 silam mengungkap, bahwa al-Qur’an telah menghapus jenis diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama atas posisi dan keberadaannya di muka bumi. Sebut saja kepemimpinan, di mana dalam prosesnya yang dijadikan pertimbangan hanyalah kemampuan dan pemenuhan kriteria untuk menjadi sosok pemimpin. Sebelum berlanjut, mari melihat ayat 71 surat at-Taubah:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Ayat di atas menggunakan kata ‘Auliya’ berarti pemimpin, dan setiap pemimpin tidak hanya merujuk pada laki-laki saja, melainkan juga diperuntukkan kaum hawa. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa al-Qur’an tidak melarang perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahlian yang dimiliki, baik menjadi guru, dokter, pengusaha, menteri, dan sebagainya. Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Manar dikatakan bahwa kata ‘Auliya’ mencakup wali dalam arti penolong, solidaritas, dan kasih sayang.

Persoalan demikian hanyalah ikhtilaf, yaitu perbedaan pendapat ahli (ulama’). Ada juga yang berpendapat bahwa tidak boleh seorang perempuan menjadi top leader, hakim misalnya. Pendapat demikian dapat dilacak berdasarkan surah an-Nisa’ ayat 34 yang artinya “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karenanya Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan, dan laki-laki telah menafkahkan sebagian harta mereka…”. Namun, menurut Jawad Mughniyah dalam Tafsir al-Kasyifnya menyatakan, bahwa maksud ayat tersebut bukanlah menciptakan perbedaan yang menganggap perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Tetapi keduanya adalah sama, sedang ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada laki-laki sebagai seorang suami, juga perempuan sebagai istri.

Dasar Mengenai Kepemimpinan Perempuan

Dalam pandangan hukum Islam, terdapat beragam pandangan terkait kepemimpinan perempuan. Beberapa ulama menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah sebuah penghalang dalam perspektif hukum Islam. Dalam konteks ini, Islam mendudukkan pria maupun wanita secara adil dan berdasarkan proporsinya. Selain itu, terdapat juga pandangan yang menyoroti bahwa perempuan diperbolehkan untuk melakukan kegiatan di luar rumah, termasuk dalam ranah publik, seperti bekerja, menjadi politikus, petinju, pendakwah, pedagang, dan lainnya. Oleh karena itu, dalam kajian fikih kontemporer, terdapat beragam pandangan terkait peran dan kepemimpinan perempuan dalam Islam, yang mencerminkan kompleksitas dalam penafsiran terhadap ajaran Islam.

Kilas balik mengenai kepemimpinan perempuan dapat dilihat melalui pribadi Ratu Balqis yang memimpin Negeri Saba’ pada waktu itu. Dalam al-Qur’an disebutkan surah as-Saba’ ayat 15, bahwasannya informasi adanya negeri tersebut yang dipimpin seorang ratu diterima oleh Nabi Sulaiman a.s. juga burung Hud-Hud. Melalui konteks tersebut dapat dipahami, bahwa seorang perempuan memiliki ruang untuk memimpin dalam ranah publik sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya. Masih banyak lagi ayat-ayat yang menceritakan keistimewaan Ratu Balqis dengan segala sifat kepemimpinannya untuk kemaslahatan seluruh umat. Selain itu beberapa tokoh yang berpengaruh pada fikih kontemporer akan peran perempuan di ranah publik antara lain yaitu: Wahbah Zuhaili, M. Quraish Shihab, Nasaruddin Umar, Husein Muhammad, dan masih banyak lagi.

Ruang Publik Inklusif: Kesempatan Perempuan untuk Memimpin

Kepemimpinan perempuan di ranah publik merupakan topik yang semakin relevan dalam konteks fikih kontemporer. Seiring dengan perkembangan zaman, pandangan terhadap peran perempuan dalam kepemimpinan telah mengalami perubahan. Dalam perspektif fikih kontemporer, terdapat beragam pendekatan terkait hal ini. Beberapa ulama kontemporer menekankan bahwa tidak ada larangan bagi perempuan untuk memimpin dalam ranah publik, selama hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip fikih. Mereka menekankan pentingnya memahami konteks zaman dan kebutuhan masyarakat dalam menilai peran kepemimpinan perempuan.

Di sisi lain, terdapat juga pandangan yang menekankan pentingnya mempertimbangkan prinsip-prinsip fikih dalam menentukan batasan-batasan kepemimpinan perempuan di ranah publik. Mereka menekankan bahwa prinsip kesetaraan gender sejalan dengan ajaran Islam, namun tetap perlu memperhatikan aspek-aspek fikih dalam konteks kontemporer. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam memahami peran kepemimpinan perempuan dalam fikih kontemporer, yang membutuhkan kajian yang mendalam dan berimbang. Dalam konteks sosial dan politik, kepemimpinan perempuan dianggap dapat membawa dampak positif dalam pembangunan masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam kepemimpinan dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemberdayaan perempuan, dan peningkatan tata kelola yang baik. Oleh karena itu, dalam perspektif fikih kontemporer, penting untuk mempertimbangkan manfaat-manfaat tersebut dalam menilai peran kepemimpinan perempuan di ranah publik.

Meskipun demikian, tantangan dan hambatan terkait dengan kepemimpinan perempuan di masih menjadi kenyataan. Diskriminasi gender, stereotip, dan ketidaksetaraan akses terhadap kesempatan kepemimpinan masih menjadi masalah yang perlu diatasi. Dalam konteks fikih kontemporer, penting untuk terus mendorong pemahaman yang inklusif dan adil terkait peran kepemimpinan perempuan, serta upaya konkret untuk mengatasi hambatan-hambatan yang masih ada. Secara keseluruhan, bahasan tentang kepemimpinan perempuan di ranah publik dalam perspektif fikih kontemporer menunjukkan kompleksitas dan dinamika yang perlu diperhatikan. Penting untuk terus melakukan kajian yang mendalam, berdasarkan prinsip-prinsip fikih dan konteks zaman, guna memahami peran kepemimpinan perempuan secara komprehensif dan berimbang. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta pemahaman dan implementasi yang sesuai dengan ajaran Islam dan juga kebutuhan masyarakat modern.

Sumber:

  • Huzaimah, T. Yanggo, Prof. Dr. 2001. Fiqh Perempuan Kontemporer. Cet. I. Jakarta: al-Mawardi Prima.
  • Sayyid Muhammad Husain Fadlullah, Penerjemah Muhammad Abdul Qadir al-Kaf. 2000. Dunia Wanita dalam Islam. Cet. I. Penyunting Ali Yahya. Jakarta: Lentera.
  • Gibtiah. 2016. Fikih Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group.

Muhammad Syihabuddin

Santri dan pembelajar. Menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Mambaus Solihin Gresik dan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta. Ia juga menyelesaikan studi sarjana Sosiologi Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *