Menyelami sastra bagi saya adalah proses mengejawantah hati untuk kembali pada posisinya. Ia bisa kembali menenang, meneduh, hingga membawa pada penyadaran-penyadaran sarat makna akan kebesaran Tuhan, dan mengukuhkan diri menjadi manusia liyaning liyan. Dari banyak corak tradisi sastra negeri ini, Melayu mengukuhkan dirinya dengan label sastra yang menjurus pada penggambaran latar esoteris ketuhanan. Nama-nama seperti Hamka, Amir Hamzah, hingga Andrea Hirata sekalipun tidak sedikit menyisipkan model latar nilai-nilai ketuhanan di dalamnya, wa bil khusus Islam.
Membaca fakta demikian, adalah Hamzah Fansuri yang mendapati tempat teratas dalam jagad kesusasteraan Melayu, lebih-lebih pada tanah Sumatera. Syair-syair Hamzah Fansuri membawa ingatan saya pada model-model karya Ibn Arabi dan Rumi. Pun apa yang terjadi dalam hidupnya, sejarah mencatat banyak kegamangan terjadi kala pertentangan-pertentangan terjadi atas pemikirannya yang dianggap jauh dari kebenaran. Keputusan Riayat Syah Sayyidil Mukammil menjatuhinya hukuman pembakaran atas karya-karya sastranya yang dianggap berbahaya untuk diserap masyarakat. Bahkan Abdurrauf Singkil kemenakannya sendiri dan Nurrudin Ar-Raniri—sang ulama fiqih semasa kekuasaan Aceh berdaulat, menjadi penentang keras pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri yang dianggap sesat.
Walau demikian, di tangan Hamzah Fansuri nilai-nilai spiritualitas mampu masuk dalam bait-bait dengan rima yang indah. Dari karya-karyanya itulah ia menempatakan dirinya satu level dengan karya-karya besar para sufi dunia, seperti halnya ‘Rubaiyat’. Ia menulis karyanya dengan bahasa melayu, menyisipkan nilai-nilai spiritualitas, dan mendeklarasikannya dalam karya-karya sastra.
“Hamzah di Negeri Melayu”
“Tempatnya Kapur di dalam kayu”
“Asalnya manikam tiadakan layu”
“Dengan ilmu dunia di manakan payu”
“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah”
“Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah”
“Dari Barus ke Kudus terlalu payah”
“Akhirnya dijumpa di dalam rumah”
Dua kutipan bait di atas adalah karya Hamzah Fansuri yang sering ditelaah oleh banyak peneliti. Hemat penulis, Hamzah Fansuri bukan sekedar penyair, namun ia juga mengenalkan gaya kepenyairan miliknya yang otentik dan berbeda. Setiap bait ia agungkan dirinya sebagai sosok pengembara. Ia pun menunjukkan dirinya menembus banyak ruang waktu di zaman itu. Sederet nama tempat ia bubuhkan sebagai pembuka sajaknya, mulai Makkah, Barus, Melayu, hingga tempat terpencil sekalipun yang mungkin banyak orang tak mengenalinya seperti Shar-nawi hingga Uryani.
Otentisitas Karyanya
Seperti yang terurai dalam paragraf sebelumnya, Hamzah Fansuri memiliki gaya bersyair yang unik. Ia melakukan satu lompatan kreatif, karena di zaman yang sama—peradaban Nusantara, belum muncul kesadaran-kesadaran akan pentingnya individualitas dalam penciptaan karya seni. Selain itu, ia juga mempelopori apa yang menjadi gerakan para penyair estetik pujangga baru pada abad 20, mereka menyebutnya “Gerakan sukma yang mengalir ke indah kata”.
Beberapa penanda penting dalam karya-karyanya di antaranya adalah : a) adanya skema akhir a-a-a-a, yang kemudian menjadi sebuah pakem yang diwariskan dalam tradisi sastra Melayu, b) syair-syair Hamzah Fansuri kesemuanya melingkup dimensi perjalanan ruhani (seorang salik) meliputi kefanaan, cinta Ilahi, kemabukan mistik, hingga segala pengungkapan yang didapatkan dari ketersingkapan mata batin (kasyf), c) adanya penggunaan ayat-ayat mutasyabihat sebagai penanda kesufian yang kemudian ditransmisikan pada bahasa lokal, d) dan tentunya segala yang ditulis adalah cerminan dari segala yang sudah dipelopori para sufi besar (Rumi, Bayazid, hingga Al-Hallaj).
Sebuah gagasan kontroversi
Tragedi kegamangan-kegamangan hidup kaum sufi selalu menunjukkan relasi yang sama antar zaman. Kisah-kisah itu dimulai dengan perseteruan dari kaum fundamentalis fiqhiyah hingga otorisasi penguasa, bahkan sebuah akhiran kisah yang tragis pun banyak dijumpai dalam sejarah. Hamzah Fansuri pun demikian, ia menjumpai perlawanan keras dengan pembakaran tulisan-tulisannya. Hingga kematiannya pun menjadi misteri bagi para peneliti saat ini, tentang bagaimana kisah akhir hingga dimana persemayamannya yang benar.
Bait kedua dari contoh di atas adalah yang sering menuai kritik. Gagasan itu menyamai konsep-konsep penyatuan wujud yang menjadi gagasan besar para kaum sufi, “Hamzah Fansuri di dalam Mekkah, Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah, Dari Barus ke Quds terlalu payah.” Sebuah untaian bait yang mendalam, menggambarkan metafor-metafor pengembaraan jauh yang menemui titik lelah dan kehampaan. Hingga pada akhirnya, ia membubuhkan persaksian “Akhirnya dijumpa di dalam rumah”. Sebuah persaksian itu menunjukkan bahwa Tuhan tak pernah jauh dari ciptaan-Nya, bahkan ia dekat dan tertutupi oleh keangkuhan-keangkuhan hamba-Nya.
Sungguh, Hamzah Fansuri terlepas dari tuduhan kontroversinya, Ia adalah pembuka jalan untuk pengenalan kesusastreaan Melayu yang agung. Karya-karnyanya kemudian mendapati pembelaan-pembelaan, baru terjadi kala ia sudah wafat, dengan adanya penelusuran karya-karyanya yang tersisa, lebih-lebih pada mahakaryanya “Asrar al-Arifin”, sekumpulan prosa tentang rahasia-rahasia kaum arif. Beberapa riwayat juga menunjukkan bahwa respon pembelaan mulai bermunculan darri para murid Ar-Raniri hingga ulama-ulama setelahnya. Dengan demikian, pembacaan kita telah sampai bahwa, Hamzah Fansuri bukan sekedar ulama Nusantara yang pandai bersyair, jauh daripada itu ia adalah seorang pengembara sejati, mirip seperti apa yang dilakukan Rumi dalam Matsnawi hingga Rubaiyatnya. Ia tidak bekerja untuk kebesaran namanya, melainkan untuk Islam, Tasawuf, Tanah Melayu, hingga kebesaran sebuah Sastra.
- Abdul Hadi W.M “Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh”. Lotkala.
- ———————, “Tasawuf yang Tertindas”. Penerbit Kompas.