Pendudukan Belanda hingga Jepang membawa dampak keterpurukan yang mendalam. Larangan untuk menempuh pendidikan bagi pribumi, menajadi satu sebab penjajahan semakin awet di Indonesia. Perlawanan-perlawanan masih didominasi dalam bentuk perang fisik. Bahkan, peperangan-peperangan yang terjadi juga bersifat kedaerahan, seperti : perang semesta yang dipimpin Pangeran Diponegoro [1], peperangan Aceh dengan gerilya oleh Cut Nyak Dien melawan Belanda [2], perang Pandrah dan Perang Bayu di Aceh atas respon ketidakcocokan rakyat Aceh pada tindakan amoral Jepang [3], perang Paderi yang muncul atas sebab adu domba antar adat yang dilakukan Belanda [4], hingga perang-perang umat muslim lainnya.
Kedatangan penjajah ke Indonesia telah membawa stigma yang buruk tentang agama-agam selain Islam. Walau Indonesia sendiri dulunya adalah kepulauan pemeluk Hindu-Budha, namun karena sebab penjarahan-penjarahan yang dilakukan para penjajah membuat rakyat pribumi memiliki sentimen yang tinggi. Merasa tertekan akan pemberontakan, Belanda pun tidak kekurangan ide. Ia memberikan kesempatan belajar untuk para bangsawan. Namun, gagasan ini kiranya justru banyak diresepsi secara negatif. Secara tidak langsung Belanda semakin menguatkan sekat yang terjadi. Belanda dirasa telah menyebarkan paham jika pendidikan maju Belanda itu rasionalis, sedang orang-orang timur itu emosional [5]. Selain itu siasat licik Belanda juga disisipkan pada pengajaran sekolah-sekolah mereka. Belanda tahu jika umat Islam gampang tersulut dan termakan segala nasihat berbau agama. Dari kondisi ini mereka menyebarkan petuah-petuah agama, dan bahkan hadis-hadis palsu untuk kepentingan mereka. Seperti contohnya ketika mereka ingin menguasai perokonomian, Belanda menyusup dalam penyebaran hadis palsu jika berlama-lama di masjid lebih baik daripada di pasar [6].
Selain itu di sisi Belanda menganggap bahwa masyarakat Islam yang berkubu-kubu menyulitkan mereka dalam menyebarkan tiga misi utama mereka, terlebih pada misi gospel (pendakwahan kebenaran kristiani). Apalagi kubu-kubu itu terwadahi dalam pesantren, masjid, hingga musala-musala. Sehingga Belanda kesusahan dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya, karena para santri buta huruf dan hanya patuh pada petuah kyai [7]. Begitupun di sisi pendudukan Jepang, walau pada awalnya mereka mendapatkan simpatisan, namun perlahan mereka tertuduh sebagai pembawa ajaran-ajaran kemusyrikan. Ajaran Sintoisme yang mereka bawa menghadapi banyak penolakan oleh pribumi dengan alasan yang sama, yaitu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan di pesantren, masjid, hingga musala-musala [8].
Kepentingan-kepentingan kedaerahan itu kemudian beranjak menuju pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan kemunculan organisasi-organisasi nasional yang berangkat dari asas label keislaman seperti, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lainnya. Organisasi-organisasi demikianlah yang menjadi wadah pribumi untuk turut serta berjuang mengusir penjajahan dalam level nasional hingga desakan-desakan kemerdekaan. Mereka berangkat dari latar belakang berbeda. Sarekat Islam misal, mereka berangkat dengan nama perserikatan dagang, dan menjadi organisasi tertua seperti Budi Utomo [9], kemudian Muhammadiyah berdiri atas sebab perserikatan murid-murid Ahmad Dahlan yang mencoba menerobos klenik-klenik Jawa yang mengakar [10], dan juga Nahdlatul Ulama yang justru berdiri atas daalih perserikatan santri yang menjadi pewaris tradisi kenusantaraan[11]. Kesemuanya tidak lepas dari tujuan praktis, yaitu penyatuan kekuatan untuk melawan penjajahan, baik secara fisik maupun pemikiran. Dengan demikian gambaran Islam pada masa kolonialisme tidak lepas dari kepentingan perlawanan-perlawanan terhadap penjajah. Perlawanan yang dilakukan juga melalui dua jalan. Jalan pertama yakni dengan mengangkat senjata. Sedangkan jalan kedua yaitu diplomasi, yang dalam hal ini merupakan akibat positif dari adanya wadah aspirasi rakyat melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional.
Tidak hanya tiga organisasi besar di atas, sederet nama organisasi Islam juga bermunnculan. Tercatat dalam sejarah, maraknya organisasi ini lahir ketika memuncaknya kemarahan atas penjajah. Sehingga jikalau ditarik mundur, mereka lahir sekitar setengah abad sebelum proklamasi [12].
Islam Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, narasi-narasi sejarah tentang Islam tidak lagi banyak terfokus pada pembacaan kondisi Islam di pesantren-pesantren, melainkan pembacaan itu lebih mengerucutt pada kondisi geopolitik. Islam tumbuh menguat dalam organisasi-organisasi politik melalui partai. Sesuai kesepakatan bersama saat itu, konsekuensi dari adanya demokrasi adalah menjadikan partau politik sebagai jembatan aspirasi [1]. Mereka adalah Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai politik Tarekat Islam hingga partai-partai kecil lainnya. Mereka turut serta dalam pemilu pertama di tahun 1955. Bahkan beberapa partai bentukan itu juga masih lestari sampai saat ini, hanya saja berganti nama pasca orde baru berkuasa.
Selain itu, terdapat perubahan signifikan yang terjadi pada Islam dalam corak konsep ajaran. Hal itu atas sebab tokoh-tokoh kemerdekaan memiliki kesempatan yang luas untuk menempuh pendidikan, bahkan sampai di luar Indonesia. Jikalau sebelumnya tokoh-tokoh besar Islam belajar dari tanah suci makkah, seperti Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari, kini muncul sarjanawan-sarjanawan muslim dengan kiblat barat. Sederet nama seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Azyumardi Azra hingga tokoh-tokoh besar di kampus-kampus mewarnai khazanah Islam Indonesia. Pasca kemerdekaan pula, pesantren-pesantren menguat keberadaannya dan mendapatkan perhatian penuh dari negara. Tokoh-tokoh besar dari pesantren menduduki banyak jabatan penting dalam pemerintahan. Sederet nama tokoh tersebut membawa gagasan-gagasan pembaruan. Para pembaharu yang hadir juga tidak lepas dari akar pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya. hanya saja model pembaharuan ini bersifat lebih bernuansa akademis di kampus-kampus. Keterpengaruhan mereka bersumber atas pemikiran Abduh, Fazlurrahman hingga tokoh kenamaan lainnya [2]. Harun Nasution semisal, ia menawarkan konsep modernisasi Islam atas sebab berkembangnya zaman yang pesat, sedangkan tradisi sebagian telah usang [3]. Kemudia Nurcholish Madjid datang dengan gagasan Islam Inklusif dan sekulerisasinya. Hal sebagai respon atas kejumudan berpikir Islam yang selalu mencampuradukkan wilayah-wilayah profan sekaligus kritik atas wilayah privat agama yang seringkali dibenturkan di wilayah publik [4]. Kemudian dari sisi pemikir sekaligus jurnalis muncul nama Azyumardi dengan gagasan karakterisasi pendidikan Islam serta tuntutan modernisasi pesantren [5]. Ketiganya memiliki tujuan pembebasan Islam Indonesia dari sekedar lokalitas dan stagnan terhadap kesakralan adat istiadat. Bahkan tidak hanya mereka, gelombang akademisi pun bermunculan semerbak, seperti Mukti Ali yang membawa gagasan pluralisme.
- [1] Agus Setyo Hartono, “Perang Jawa Terbesar (Perang Diponegoro) 1825-1830 Dalam Pandangan Konsep Perang Semesta Atau Total WAR,” Syntax Idea Ridwan Institute 10, no. 6 (2021): 6.
- [2] Siti Khaidah Soraya, Samingan, and Yosef Tomi Roe, “Cut Nyak Dien : Ratu Perang Aceh Dalam Melawan Pemerintah Kolonial Belanda Tahun 1878-1908,” Jurnal Universitas Flores, 2021, 55–68.
- [3] Almas Hammam Firdaus et al., “Perjuangan Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Pendudukan Jepang (1942-1945): Studi Kasus Perang Bayu Dan Perang Pandrah,” Riwayat: Educational Journal of History and Humanities 4, no. 2 (2021): 106–10, https://doi.org/10.24815/jr.v4i2.21907.
- [4] Muhamad shafiq Mohd Ali, “Teknologi Masyarakat Minangkabau Dalam Perang Padri Di Sumatera Barat,” International Journal of the Malay World and Civilisation 8, no. 3 (2020): 43–53, https://www.ukm.my/jatma/wp-content/uploads/makalah/jatma-2020-0803-05.pdf.
- [5] Duriana, “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdekaan,” Dialektika 9, no. 2 (2015): 57–70.
- [6] Syaripuddin Daulay, “Pergumulan Islam Indonesia Dengan Kolonial Abad Ke 18 Dan 19,” Bilqolam Pendidikan Islam 2, no. 1 (2021): 65–78.
- [7] Muh Amin, “Pendidikan Islam Masa Penjajahan Belanda Dan Jepang,” Jurnal Pilar 10, no. 2 (2019): 1–11.
- [8] Muhammad Husni, “Kondisi Umat Islam Masa Penjajahan Jepang,” Jurnal Rihlah UIN Alaudin III, no. 1 (2015): 60–67, journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/download/1368/1323.
- [9] Yudi Armansyah, “Dinamika Perkembangan Islam Politik Di Nusantara,” FOKUS : Jurnal Kajian Keislaman Dan Kemasyarakatan 2, no. 1 (2017): 27–46.
- [10] Zakiya Darajat, “Muhammadiyah Dan NU: Penjaga Moderatisme Islam Di Indonesia,” Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies 1, no. 1 (2017): 81–96, https://doi.org/10.21009/hayula.001.1.05.
- [11] Darajat.
- [12] J. Suyuthi Pulungan, Sejarah Peradaban Islam Di Indoensia (Jakarta: Amzah Imprint Bumi Aksara, 2019).