Sebagai seorang raja, Harun Al-Rasyid disibukkan dengan berbagai hal tentang kenegaraan setiap harinya. Hal itu membuat banyak orang merasa bahwa raja tidak memiliki waktu lagi untuk rakyatnya. Mendengar hal tersebut, raja pun meresah dan merasa bahwa dia gagal memberikan pengabdiannya pada rakyat.
Kegelisahan itu kemudian oleh Harun ceritakan pada Abu Nawas. Walau Abu Nawas sering menipunya, tapi Harun merasa Abu Nawas adalah penasehat ulung yang oleh kerajaan butuhkan. Maka saat itu pula Abu Nawas mendapat panggilan.
“Wahai Abu Nawas, Bagaimana caranya agar aku tahu keadaan rakyatku?, aku ingin melihat mereka secara apa adanya,” ujar Harun.
Abu Nawas dengan segenap kecerdikannya pun berpikir mendalam.
“Begini saja baginda. Esok pagi aku akan melihat benda Ajaib di pasar. Sepertinya banyak orang juga akan ke sana melihatnya.
“Baiklah aku ikut,” jawab Harun bersemangat.
“Tapi sebaiknya engkau tidak berpakaian seperti raja. Alangkah baiknya pakaian yang kau kenakan biasa-biasa saja, layaknya rakyat biasa. Dengan begitu rakyat tidak akan mengenalimu.”
“Baiklah aku ikuti saranmu.”
Keesokan harinya Harun dan Abu Nawas pergi ke pasar. Namun Abu Nawas mengajak Harun mengambil jalan yang lebih jauh. Mereka masuk hutan dan pemukiman orang-orang Badui.
“Wahai baginda, jalan ini menuju perkampungan Badui. Aku melihat penyamaran ini pasti akan diketahui orang Badui. Aku khawatir akan banyak orang takut denganmu saat kita melintas nanti. Sebaiknya engkau menunggu di bawah pohon ini, sedangkan aku akan mengecek situasi.” Abu Nawas meninggalkan Harun seorang diri di bawah pohon besar.
Setelah menunggu sekian lama, Harun mulai jengkel dengan Abu Nawas. Namun, tiba-tiba seorang Badui bertubuh tinggi besar datang dengan kapak besar di tangannya.
“Oh jadi ini yang dia maksud. Ayo ikut aku. Sekarang aku tuanmu,” ujar Si Badui.
“Apa maksudmu?, aku ini raja Harun!,” ujar Harun menyolot.
“Benar kata Abu Nawas, agaik gila kau sepertinya. Setiap hari mengaku-ngaku seorang raja,” jawab Badui tersebut sembari menarik Harun menuju pekarangan rumahnya. Harun yang kalah postur tubuh hanya bisa memaki-maki sambil pasrah diseret oleh pria Badui besar itu.
“Sekarang sebaiknya kau mulai bekerja, cepat kumpulkan kayu dan letakkan di pekarangan,” perintah Si Baduy sembari memberikan kapak pada Harun.
Harun pun mulai menebang sebuah pohon. Ia yang tak terbiasa memeegang kapak pun merasa kesulitan. Si Badui hanya melihatnya dari kejauhan.
“Bodoh sekali kau ini, kaku sekali caramu memegang kapak,” Teriak Badui itu dengan suara yang geram.
Harun tetap diam sambil menggerutu menyumpahi Abu Nawas yang sudah meninggalkannya bersama Si Badui sialan itu.
“Dasar budak tak berguna. Pantas Abu Nawas menjualmu. Satu pohon saja kesulitan kau tebang!,” teriak Si Badui itu lagi.
“Apa maksudmu? Aku dijual?!.”
“Iya. Aku kan sudah bilang sekarang aku tuanmu. Abu Nawas sudah menjualmu padaku,” jawab Si Badui santai.
“Kurang ajar!,” wajah Harun pun memerah. Ia melepas semua atribut pakaiannya yang seperti rakyat jelata itu.
Setelah tahu jika di hadapannya adalah benar-benar Harun Ar-Rasyid, Si Badui itu pun gemetaran dan bersujud di hadapannya. “Ampuni aku Sultan. Aku benar-benar tidak tahu jika Abu Nawas mengecohku.”
Keesokan harinya Harun tidak menghukum Si Badui itu. Justru, Harun menyuruh Abu Nawas mencari semua budak di kota sebagai hukumannya. Jika Abu Nawas tidak kembali dengan budak-budak itu, maka ia akan menjatuhi hukuman penjara untuk Abu Nawas. Harun Ar-Rasyid hendak membebaskan semua budak-budak itu, karena ia sendiri merasakan betapa kejamnya hidup sebagai seorang budak.