Dalam diskursus keagamaan, banyak sekali kita temukan kajian yang membahas tentang kelompok salaf ini. Bukan hanya dalam kajian akademik, bahkan dalam tradisi pun istilah salaf sangat populer di berbagai belahan dunia, terlebih di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya pesantran yang menyebut dirinya sebagai “pesantren salaf/salafiyyah”. Secara harfiah, salaf sendiri bermakna (kuno) sebab ia adalah peristiwa yang telah berlalu. Sedangkan, antonim dari kata salaf adalah khalaf yang biasa diartikan dengan sesuatu yang mutakhir. Istilah salaf ini di kemudian hari mampu merebut hati salah satu kelompok keagamaan di Indonesia yang acap kali mendengungkan istilah salaf dalam kehidupan sehari-hari.

            Bahkan, dalam hemat penulis kelompok tersebut terlalu mengkultuskan kelompok salaf ini. Hal ini nyata penulis alami sendiri saat penulis pergi ke tukang cukur yang kebetulan sedang menggandrungi kajian keislaman. Sembari mencukur, juru cukur tersebut memberi pernyataan kepada penulis bahwa dalam kehidupan beragama, sudah layaknya kita mengikuti kelompok ahl al-sunnah wa al-jama’ah, itu saja. Kemudian, ia juga mengimbuhinya, siapa yang dimaksud dengan ahl al-sunnah wa al-jama’ah itu? Ia menjawab, bahwa yang dimaksud dengan kelompok aswaja adalah para ulama’ salaf, yang terdiri dari para sahabat dan tabi’in. Itulah pernyataan yang penulis dapatkan dari sang tukang cukur ketika itu.

            Dalam beberapa kajian keagamaan di sosial media yang sempat penulis ikuti, disana juga ditemukan bahwa para pengisi kajian tersebut banyak yang menyatakan bahwa ulama’ salaf ini adalah satu-satunya ulama’ yang kehidupan sehari-harinya patut untuk dicontoh, bukan hanya dalam fatwa-fatwanya. Pendapat ini setidaknya menunjukkan bahwa kelompok ulama’ salaf mempunyai andil besar dalam berkembangnya pengetahuan, juga dalam etika keagamaan. Namun, penulis juga menemukan kejanggalan terhadap mereka, apakah ulama’ khalaf tidak mempunyai andil dalam perkembangan pengetahuan dan juga etika dalam keagamaan?

            Sebelum lebih jauh membahas ini, penulis akan mengemukakan pandangan Nurcholish Madjid yang mengutip pernyataan-pernyataan Ibn Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah. Sebelum mengutip pernyataan Ibn Taimiyyah, Nurcholish terlebih dahulu memberikan gambaran terhadap siapakah kelompok salaf itu. Ia menuturkan, bahwa yang dimaksud dengan ulama’ salaf adalah mereka yang mempunyai wewenang dan otoritas (termasuk dalam bidang keagamaan) di masa lalu. Apa yang didefinisikan oleh Nurcholish ini sungguh relevan. Sebab, orang yang tidak berkuasa ketika itu namanya tidak mungkin dikenang sampai hari ini.

            Dengan kata lain, karena mereka mempunyai otoritas kekuasaan dalam berbagai hal, termasuk pengetahuan akhirnya mereka mampu dikenal sampai hari ini. Namun, Ibn Taimiyyah mempunyai pandangan lain terhadap pendefinisian kelompok salaf tersebut. Pertama, yang disebut sebagai kelompok/ulama’ salaf adalah al-khulafa’ al-rasyiduun. Sebab, mereka adalah kelompok yang paling dekat dengan sumber pengetahuan dan etika, yaitu Rasulullah. Kedua, disini penulis ingin menambahkan bahwa dalam pendefinisian ini mulai terdapat politisasi. Kelompok Syi’ah yang pro terhadap Ali akan mengatakan bahwa yang dimaksud ulama’ salaf adalah Ali, khalifah yang lain tidak termasuk di dalamnya.

            Kelompok Khawarij akan mengatakan, bahwa yang tidak termasuk kelompok salaf adalah Ali. Keturunan bani Umayyah akan mengatakan bahwa Muawiyyah ibn Abi Shufyan adalah orang yang termasuk dalam ketegori ulama’ salaf[1]. Namun demikian, setidaknya bisa kita simpulkan bahwa yang disebut ulama’ salaf adalah ulama’ yang hidupnya berdekatan dengan Rasulullah. Pengkultusan (rasa kagum yang berlebih) terhadap kelompok salaf ini menyebabkan banyak orang yang begitu mengabaikan jasa ulama’ yang lahir di kemudian hari (khalaf). Hal ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya, terutama ketika mereka mengetahui pernyataan Rasulullah yang menyatakan generasi terbaik adalah generasi beliau kemudian dilanjutkan dengan generasi setelahnya.

            Hingga akhirnya, muncul lah seorang cendekiawan/ulama’ besar yang bernama Izzuddin ibn Abdissalam yang berjasa merubah pujian yang terlalu berlebihan itu. Al-‘Izz ibn Abdisaalam begitu ia dikenal, adalah seorang yang ahli dalam berbagai bidang pengetahuan, misal fikih, ushul fikih, tafsir, tasawuf dan sebagainya. Keahliannya dalam berbagai disiplin pengetahuan itu, menyebabkan muridnya yang bernama Ibn Daqiq al-‘Idd menyebut dirinya sebagai sulthan al-ulama’ (pemimpin para ulama’)[2]. Al-‘Izz mempunyai andil besar dalam meruntuhkan pengkultusan itu. Sebab, dalam tafsirnya ia juga mengadopsi pemikiran-pemikiran ulama’ khalaf disamping mengadopsi pemikiran ulama’ salaf[3].

Apa yang dilakukan Izzuddin ini mampu menyadarkan masyarakat luas secara umum dan ulama’ secara khusus. Dari jasa Izzuddin inilah pujian yang berlebihan terhadap ulama’ salaf itu perlahan mulai menipis. Dengan kata lain, mereka sudah bisa menerima pemikiran-pemikiran yang dikeluarkan oleh ulama’ khalaf itu.    

Wallahu a’lam    


[1] Nurcholish Madjid, Karya Lengkap Nurcholish Madjid (Islam Doktrin dan Peradaban) (Jakarta : Nurcholish Madjid society, 2019) hlm. 913-914

[2] Husein Muhammad, Ulama-ulama yang Menghabiskan Hari-harinya untuk Membaca, Menulis dan Menebarkan Cahaya Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta : IRCiSoD, 2020) hlm. 112

[3] Izzuddin ibn Abdissalam, Tafsir al-Qur’an al-Karim (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1996) juz. 1, hlm. 25

By Rahmat Yusuf Aditama

Kelahiran Lamongan Jawa Timur. Menyelesaikan studi sarjana Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di UIN Sunan Kalijaga, dan kini tengah melanjutkan master di jurusan yang sama. Pegiat literasi pelatihan Kitab Kuning "Al-Ghoyah" dan menjadi pengajar di Pondok Pesantren Walisongo Probolinggo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *