Dalam ajaran agama, wabil khusus Islam telah mengajarkan menjaga diri, keluarga dan kelompok (negara) dan menentang kolonialisme. Jadi bisa disimpulkan bahwasanya jika masyarakat mempunyai ilmu agama secara mendalam dan taat terhadap ajaran-ajaran agama pastilah kecil kemungkinan bagi Belanda untuk dapat tinggal lebih lama di Bumi Nusantara karena perlawanan ketat dari seluruh masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai agama. Saya pun menengarai bahwa karya-karya Mbah Kyai Sholeh terselip spirit jihad memberangus kebodohan itu.
Menyatukan agama dan budaya dalam balutan karya
Lahirnya setiap statemen KH. Sholeh Darat pada karya-karyanya tidaklah berangkat dari ruang kosong atau muncul dengan sendirinya tanpa sebab. Pernyataan-pernyataan beliau adalah mewakili segala aspek sosio-historis yang melatar belakanginya. Dalam sub-bab ini saya mencoba mengutip pada pernyataan dalam al-Majmū’ah al-Syarī’ah al-Kāfiyah lil Awām pada bab pembahasan murtad, tertulis pernyataan beliau
“lan harom ingatase wong Islam nyerupani penganggone wong liya agama Islam sanediyan ora demen …..sapa wonge nganggo penganggone liyane ahli Islam kaya klambi jas atawa topi atawa dasi maka dadi murtad rusak Islame sanadeyan atine ora demen”.
Yang jika diterjemahkan: Dan haram bagi orang Islam untuk menyerupai apa yang dipakai oleh orang selain agama Islam seperti pakaian jas, topi atau dasi maka jadi murtad dan rusak Islamnya walaupun hatinya tidak menyukai.
Pernyataan itu bagi saya bukan persoalan bagaimana dampak fanatisme berlebihan dan menembus batas kewajaran, tapi bagi saya itu adalah spirit bahwa perjuangan berapi-api menjadi tempat pertama daripada kepentingan-kepentingan lainnya. Kita selayaknya memahami bahwa perlawanan untuk terlepas dari penjajahan harus ditempuh dari banyak ruang, termasuk melalui karya tulis. Mbah Kyai Sholeh seakan mewanti-wanti keras pengaruh agama kolonial dan budayanya—jas, topi, dasi, hingga gaya parlente ala Belanda bisa melemahkan solidaritas pribumi saat itu.
Mbah Kyai Sholeh seakan juga berjuang mengurai benang rumit akan bagaimana wujud nasionalisme yang layak, antara kecondongan fundamentalis agama atau kecondongan sekularitas yang terjadi saat itu. Paham-paham yang semi sekuler seringkali terpantik untuk mengamini apa yang dibawa oleh para penjajah. Maka, adanya “nasionalisme” sebagai paham yang dinilai paling efektif untuk memberangus paham-paham penjajah, telah berhasil tersusupi nilai moralitas agama dan keluhuran budaya. Dengan nilai-nilai itu maka dapat dibedakan antara kelompok nasionalis dan kelompok yang hanya mementingkan god, gold dan gospel.
Tafsir Faidh al-Rahman
Tafsir ini membuka pintu perjuangan bahwa, budaya termasuk bahasa daerah di dalamnya, mampu menembus asumsi umum bahwa Al-Quran bisa diakulturasikan dengan jati diri pribumi. Ya, Bahasa Jawa pegon telah menghiasi narasi-narasi tafsir Faidh al-Rahmah lengkap dengan gaya anatomi penulisan riq’ah klasik yang begitu otentik. Ada dua poin penting yang ingin saya sampaikan dan saya kutip dari karya Mbah Kyai Sholeh yang luar biasa itu, yang mungkin bisa melingkup penjabaran narasi paragraf-paragraf sebelumnya; tentang spirit perlawanan pada penjajah, penolakan hegemonis, hingga spirit perwujudan jati diri bangsa.
Pertama, adanya harapan terhadap bangsa yang selamat dan merdeka. Penelusuran terhadap beberapa ayat dalam tafsir Faidl al-Rahmān telah saya lakukan terlebih dahulu untuk membuktikan hipotesis adanya keterpengaruhan suatu karya terhadap lingkungan yang mengitari penafsir tersebut. Dalam kitab tafsir Faidl al-Rahmān, surat al-Baqarah ayat 126
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَهٗ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَاُمَتِّعُهٗ قَلِيْلًا ثُمَّ اَضْطَرُّهٗٓ اِلٰى عَذَابِ النَّارِ ۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Nuturno siro ya Muhammad nalikane dungo sopo Nabi Ibrahim Ya Robbi mugi-mugi Tuan dadosaken niki negoro Mekkah dados negoro kang aman saking poncoboyo, qokht, jadm, baros lan aman sangking paten pinaten lan maleh mugi Tuan paring rizki ahlu Mekkah sedoyo sangking pepanen buah-buahan, lan paringi rizki teng ingkang sampun iman billahi lan iman bil yaumil akhiri.”
Artinya: katakanlah wahai Muhamad ketika Nabi Ibrahim berdoa, wahai Tuhanku semoga Engkau jadikan negri Mekah menjadi negara yang aman dari pancabaya, qoht, jadm, baros dan aman dari saling membunuh dan semoga Engkau berikan rizki kepada penduduk Mekah dari panen buah-buahan dan berikan kepada orang yang sudah iman kepada Allah dan hari ahir.
Dalam Tafsir Faidl al-Rahmān, KH. Sholeh Darat menafsirkan kata “”أمنا sebagai aman dari lima bencana alam yaitu banjir, gunung meletus, badai, gempa bumi dan gersang. Selain pancabaya, KH. Sholeh Darat menafsirkan aman dari penyakit lepradan saling membunuh. Ketika menemukan term pembunuhan, saya melacak sumber yang dirujuk oleh KH. Sholeh Darat yaitu kitab Ihyā ‘Ulūmuddīn dan kitab tafsir Jallālain akan tetapi saya tak menemukan hal yang sama sehingga saya berasumsi kuat bahwasanya “pembunuhan” yang disebut merupakan murni dari pemikiran KH. Sholeh Darat sendiri berdasarkan pengaruh sosio-historis berupa adanya kezaliman yang dilakukan oleh Belanda.