Siang itu hanya aliran Mahakam yang terlihat dari balik kaca pesawat. Yang kuingat soal pemandangan demikian hanyalah cerita bersambung Djumri Obeng yang berseliweran. Aku tak pernah membaca seluruhnya, tapi setidaknya rasa ingin tahuku terjawab sudah jika Mahakam memang seindah itu dari atas. Pantas saja sosok si Manis tak pernah ada habisnya dalam cerita-cerita yang terarsip begitu monumental itu.
Dulu aku pernah begitu cepat menghafal peta Kalimantan. Selain atas sebab gambar tanah Borneo yang tak banyak menyelipkan objek, juga sekumpulan nama sungainya yang selalu muncul di sekumpulan soal-soal ujian ilmu sosial dari tahun ke tahun. Mahakam, Kapuas, Martapura, hingga Barito, semuanya terdengar familiar di telinga.
Deru mesin pesawat membising memberi sinyal pendaratan yang kian dekat. Aku tetap duduk sebagai selayaknya penulis, mengingat segala yang kulihat dan kudengar. Dan benar saja, ketakjubanku kian bernas siang itu. Beberapa latar Hunt for the Blood Orchid menggelayut, mengirim sinyal yang meresahkan pada ingatan yang lamat-lamat telah hilang. Belasan tahun silam, aku bersama mendiang bapak telah menghabiskan malam minggu menikmati bioskop layar kaca di televisi dini hari, menanti satu per satu tim Bill Johnson dihantui serangan Anaconda.
Seminggu yang lalu bapak telah pergi. Tatapanku tak lagi begitu berselera. Sepertinya saat itu aku menghentikan tangis begitu cepat di atas pemakaman. Berulang kali aku menulis dan berulang kali pula tersendat pada emosional yang kukubur dalam. Ya, sejauh ini aku percaya, kala seorang penulis duduk, inderanya tengah merekam realitas dan jiwanya bertarung dengan ingatan sepanjang hidupnya.
“Bagaimana pendaratanmu?,” suara kawanku begitu berisik memenuhi earphone murah yang kupakai. Aku berjalan ke luar bandara.
“Sedikit benturan yang kasar di atas pacuan pendaratan,” jawabku.
“Baiklah. Semoga hari-harimu menyenangkan.”
“Semoga saja begitu. Aku rasa seminggu belum cukup untuk membuktikan semua kebenaran ucapanmu di sini, soal Mahakam yang membuatmu jatuh cinta berkali-kali, bahkan kala engkau memutuskan pergi ke Jawa sepuluh tahun lamanya,” bantahku.
“Sampai kapan pun cinta itu selalu membawaku untuk pulang Han. Bahkan foto Jembatan Mahulu masih kutempel di depan meja kerjaku. Adakalanya penulis butuh objek keindahan yang tak dibuat-buat. Gambaran tanah kelahiran selalu membuat spirit diksi-diksiku tentang keindahan alam meningkat seratus persen,” jawabnya begitu yakin diimbuhi suara tawanya yang serak.
Kawanku itu kini seorang jurnalis. Empat tahun bersamaku bekerja di depan meja ketik, menjadi editor pamflet dan penata lay-out yang mengais rupiah dengan pasang surut. Seminggu yang lalu, aku memberi kabar bahwa hari ini aku akan terbang ke Samarinda untuk sebuah ihwal penting. Aku merasa dia begitu bersemangat. Berulang kali dia menguatkan cerita-ceritanya tentang Kalimantan padaku melalui pesan di ponsel. Sepuluh tahun lamanya, ia tidak tidur di atas tanah kelahirannya. Dan atas sebab kesibukan pekerjaan, rupa-rupanya ia juga belum memiliki alasan kuat untuk pulang.
=================
Malam keenam di Samarinda.
Kau tahu, angin malam di sini begitu kencang. Adakalanya bagi jiwa yang sentimentil, kehadiran angin membawa tafsiran tersendiri. Malam Samarinda begitu lengang dan terjaga. Ia tidur lebih pulas di awal waktu daripada kota kelahiranku di Jawa. Temaram lampu kota hanya dinikmati sebagian dari mereka yang menyambut angin dengan baik. Sisanya, mereka lebih memilih menyiapkan prelude esok pagi untuk kembali menyambut rezeki.
Aku telah mendengar, banyak perantau tengah mengundi nasib di sini. Dengan nada yang begitu berapi-api, mereka selalu berujar jika Kalimantan diciptakan untuk mereka yang hidup di atas kegigihan dan keberanian. Kata mereka pula, tanah Kalimantan tak memberimu kemudahan, kau harus bangun lebih pagi untuk hal-hal yang semestinya sudah di luar batas kewajaran.
Aku kini berada di tepian Mahakam, tepat menatap megahnya Mahkota Empat. Seorang pria memberiku jawaban pada banyak hal yang kupertanyakan selama ini. Ia menanyaiku dengan singkat, siapa diriku, asalku, juga hajatku. Lumrah kurasa. Semacam pertemuan pembuka untuk sebuah pembicaraan lebih hangat selanjutnya.
Tak begitu lama aku memahami siapa dirinya. Instingku sebagai penulis mulai memberi tafsiran hangat pada pikiranku : dia adalah pria pekerja keras. Sebatang rokok di bibirnya masih tak tersedot banyak, seperempat kurasa. Ia mengenakan jaket jaket ojek online dengan sarung tangan yang belum ia tanggalkan. Rautnya penuh harap agar beberapa notifikasi penumpang bermunculan di ponselnya.
Ia membuka pembicaraan lebih dari sekadar perkenalan. Delapan tahun ia telah tidur di atas tanah Borneo ini dan hanya satu sampai dua kali dalam setahun menginjakkan kaki kembali ke rumah. Ia sama sepertiku berdarah Jawa sejak dilahirkan.
“Asli sini?”
“Surabaya pak.”
“Oh, kerja?”
“Sekedar berkunjung. Semingguan. Kalau bapak?,” kulontarkan pertanyaan yang sama padanya.
“Saya sudah delapan tahun mas. Dari Jawa juga.”
Aku mengangguk dan mengirim sinyal ketertarikan mendengar kelanjutan cerita darinya.
“Saya sedang libur proyek mas. Jadi ojek online begini. Ini lagi sepi orderan. Mau Rokok mas ?!,” ia menyodorkan kotak rokoknya padaku. Kujawab dengan anggukan.
“Kalau tidak libur, kerjanya apa pak?.”
“Saya pindah-pindah. Yang jelas saya ini kuli, dan mandor saya banyak. Minggu depan saya dapat tawaran awak kapal tunda. Apa pun pekerjaannya, semua itu terhormat asal halal.” Ia bercerita dengan semangat. Membawaku pada dunianya. Dunia yang telah ia lalui lebih dari seperempat abad hidupnya.
Malam Samarinda yang semakin lelap membawa dunia kami saling bertemu. Pertemuan itu mewujud dalam rupa kemelut pikiran kami menyoal takdir menjadi seorang pria. Cerita itu semakin larut, masuk dalam pengalaman hidupnya, dari manis hingga pahit getirnya yang bertubi-tubi. Ia tak lagi menangis. Raut muka itu berisi serangkaian penyelesaian hidup yang arif. Soal kegagalan rumah tangganya, soal kegagalan cita-citanya, soal kesendiriannya, soal PHK pekerjaannya, soal masa depan dua putrinya, soal keterasingan lingkungannya, soal kerinduannya pada rumah, dan persoalan-persoalan lain yang mencecar pikiranku yang lugu soal dunia. Semua terbungkus rapi dalam kerut senyumnya yang mengiaskan bahwa kehidupan adalah serangkaian tragedi yang pasti menyapa siapa pun yang merasa dirinya hidup.
“Kamu sudah menikah? punya pekerjaan?.”
“Masih lajang. Pekerjaan begini-begini saja. Tak punya pekerjaan tetap. Saya pernah menjadi wartawan. Pernah juga kerja di percetakan. Bahkan jadi penulis yang ditipu tanpa dibayar pun pernah ”
“Jangan risaukan hidup. Rezeki itu sebanding dengan seberapa kuat mentalmu menghadapi hidup. Ketika mentalmu lemah dan merasa jalan hidup ini sempit, maka rezekimu juga datang serupa kesempitan itu.”
Kami masih duduk, memandangi aliran tenang Mahakam melintasi kolong jembatan Mahkota Empat. Pinggiran Mahakam malam ini membawa banyak pelajaran. Kami bertukar sarat makna hidup. Ia mungkin menyerap kisah kelajanganku sebagai obat kerinduan soal kebebasan hidup. Sedangkan aku, melumat dalam-dalam kisah hidupnya sebagai pria dewasa yang begitu serat terdengar.
Mahakam telah banyak berubah menurutnya. Bagiku, pria ini adalah satu dari sekian banyak perantau yang mungkin memiliki rupa kisah hidup yang beragam, berjibaku dalam hari-hari memandangi Mahakam. Kesaksian atas delapan tahun hidupnya di sini, ia mengisahkan tentang Mahakam yang mulai meringkih. Baginya, Mahakam kian sendu. Sungai yang molek ini seperti selalu letih. Seletih hari-hari mereka yang datang ke sini. Hari-hari yang sibuk dan dikejar oleh pemenuhan tuntutan hidup yang kian menjadi-jadi.
Setiap pagi, Mahakam dan orang-orang dipaksa bangun oleh tuntutan hidup itu. Bahkan sarapan pagi tak tersedia di atas meja makan rumah. Mahakam dan orang-orang memilih menyantap udara pagi hingga kenyang bersama deru mesin kapal tunda dan tongkang batubara. Andai rintihan Mahakam terdengar, mungkin ia ingin mengabarkan hasratnya untuk menjeda dari semua itu. Memberi ruang bagi dirinya untuk bersolek sebentar, mempercantik kembali dirinya yang kian keriput.
Namun, aku melihat hati Mahakam begitu luas. Keluasan hati itu menjelma dalam aliran yang ia teduhkan, memberi jalan penghidupan pada mereka yang berjibaku menggantungkan nasib di atas kapal, di balik navigasi kemudi, di balik debu serpihan batubara, juga di balik letih-letih mereka.
“Apa yang berkesan bagimu tentang Kalimantan selama tujuh hari ini?,” ia melontar pertanyaan kembali.
“Mahakam membuatku penasaran sejak dulu pak. Teman saya selalu bercerita kecantikan sungai ini. Ia bercerita jatuh cinta berkali-kali kala melihat Mahakam. Sepuluh tahun ia di Jawa, meninggalkan Kalimantan tanah masa kecilnya.”
Ia tersenyum. Sedikit meledek kurasa.
“Jawaban itu mungkin terbilang baru di telingaku, bahkan setelah delapan tahun di sini. Mungkin bisa dipastikan, banyak dari mereka tak lagi datang untuk Mahakam,” ia menghela nafas sejenak dan membetulkan resleting jaketnya.
“Tapi mereka datang untuk uang,” imbuhnya. Ia beranjak dari duduknya sembari menepuk bahuku. Aku pun tersenyum dengan memaksa menyunggingkan dua ujung bibirku.
Bukan dia saja yang terkejut dengan jawabanku. Aku pun lebih tertegun dengan jawabannya. Kulayangkan pesan pada kawanku malam ini,
Besok pagi aku kembali ke Jawa.
Aku sudah meneguk air Mahakam berulang kali seminggu ini, dan entah takdir akan mengizinkanku ke sini kembali untuk apa. Mahakam? atau justru uang?. haha bercanda.
Agaknya diksi-diksimu soal Mahakam perlu kau cermati ulang. Tongkang membuat hari-hari Mahakam membosankan. Kau tak pernah bercerita dalam diksimu soal kerukan-kerukan tambang yang merusak itu. Cepatlah pulang.
Samarinda, 16 September 2024.