Musik di Zaman Abbasiyah – Islam menjunjung tinggi seni. Pendapat ini rasanya tak begitu berlebihan, mengingat fakta sejarah yang tertulis di buku Hitti yang saya temui. Pada masa Abbasiyah, seringkali sejarah banyak menyebut soal lompatan-lompatan ilmu pengetahuan yang begitu cepat. Penyebutan Baitul Hikmah dan kegiatan penerjemahan karya menjadi satu topik menarik dalam setiap diskusi-diskusi. Namun seringkali seni menjadi bahan pembahasan yang terlewat dan juga berulangkali terbentur oleh kepentingan-kepentingan fiqhiyah. Bukankah Abbasiyah saat itu maju dari berbagai aspek, dan bukan hanya ilmu pengetahuan saja.
Musik di Zaman Abbasiyah
Istana dan Musik
Keterbukaan yang dilakukan Abbasiyah menjadi landasan awal mengapa sektor-sektor yang sempat diperdebatkan kembali melonggar—seni musik semisal. Mu’tazilah yang memiliki basis kuat dan lindungan dari para khalifah menjadikan produk-produk fikih tradisional sedikit tertolak. Keharaman musik salah satunya. Boleh dikata seni musik mendapatkan pintu terbuka untuk masuk ke istana dan melanggengkan keberadaannya di sana. Sebut saja Khalifah Al-Mahdi (775-785 M), ia justru memiliki seorang murid yang berprofesi sebagai musisi klasik yang bernama Ibrahim Al-Maushuli. Ibrahim pernah ditawan oleh sekelompok orang Persia hingga keluar Mosul. Dari penculikannya itu, Ibrahim justru mendapati banyak pengetahuan tentang musik dari orang-orang Persia. Banyak yang menceritakan bahwa ia menjadi sahabat dekat Khalifah Harun Al-Rasyid, dan khalifah mengupahnya 1500 dirham serta memberikan tunjangan 1500 dirham setiap bulannya.
Selain itu ada Khalifah Harun juga tercatat sebagai khalifah penikmat seni musik. Ia pernah membebaskan Mukhariq dengan 1000 dinar pada pemiliknya. Mukhariq adalah sosok penyanyi dengan suara yang merdu. Setelah terbebas, ia langsung mendapat tempat yang tinggi dalam istana, dan khalifah berulangkali memerintahnya untuk menyanyi sebagai iring-iringan festival kerajaan. Tidak butuh waktu lama bagi Mukhariq untuk masyhur, namanya semerbak setelah mengikuti arak-arakan menyusuri Sungai Tigris bersama orang-orang kerajaan.
Keturunan Ibrahim Al-Maushuli yakni Ishaq juga merupakan seeorang musisi. Ia mewarisi bakatnya dari sang ayah. Ishaq menjadi guru musik di istana, tepat saat pemerintahan Al-Mutawakkil dan Al-Makmun. Sama seperti ayahnya, Ishaq membawa penguatan pengajaran-pengajaran musik seperti yang orang Persia lakukan. Ia bisa memainkan ansambel dan mengaturnya dengan ritme-ritme hanya dengan ketukan-ketukan dari tongkat.
Istana dan Musik
Istana Baghdad kian berwarna semenjak beberapa khalifah juga terjun dalam dunia musik. Seperti kisah di awal, Ibrahim bin Al-Mahdi adalah saudara Khalifah Harun adalah musisi. Ia bahkan menjadi saingan berat Al-Amin, termasuk dalam selera musiknya. Kemudian ada juga khalifah Al-Watsiq yang merupakan pemain instrumen lute yang mengagumkan di mata rakyatnya. Selain itu bermunculan nama seperti khalifah Al-Mu’tazz, khalifah Al-Muntashir, dan Khalifah Al-Mu’tamid, yang kesemuanya juga merupakan musisi sejati.
Sebegitu terbukanya pintu keistanaan Abbasiyah dengan musik, sampai-sampai proses penerjemahan karya Yunani juga tidak lepas dari musik. Bagi Abbasiyah musik amatlah agung dan bersanding dengan karya-karya tentang filsafat dan matematika. Karya-karya tentang musik pun turut hadir, seperti halnya Risala fi Al-Musiqa, Ilm Al-Musiqi karya Al-Kindi, dan Al-Musiqa Al-Kabir karya Al-Farabi.
Warisan Abbasiyah Untuk Eropa
Tidak hanya kepentingan untuk hiburan semata, namun musik juga menjadi satu jalan bertemunya Islam dengan peradaban lain. Bahkan beberapa alat musik yang bercorak keeropaan juga terdapat cikal bakal dari warisan Abbasiyah. Pertama, klarinet yang merupakan alat musik tiup, memiliki kemiripan konfigurasi dengan alboque. Alboque sendiri adalah alat musik tiup yang datang bersama orang-orang Islam saat penaklukan Semenanjung Iberia wilayah barat daya Eropa (kini merupakan Spanyol, Portugal, Andora, Gilbartar, dan Perancis).
Baca juga : Takdir menurut Imam Ghazali, sisi Paradoksial , Inovasi Tafsir Tematik Maudhui Bi al-Harfi
Kedua, alat musik petik seperti oud, kecapi dan gitar. Banyak yang menduga alat musik ini justru berumur tua dan beberapa mengatakan Islam menirunya dari Yunani (Pandoura). Ketiga, alat musik gesek Hurdy Gurdy yang menjadi cikal bakal organ. Saat pemerintahan Abbasiyah juga, ilmuwan-ilmuwan musik menciptakan sebuah organ yang digerakkan oleh tenaga air secara otomatis. Tenaga air itu memindahkan silinder sehingga menghasilkan musik. Keempat, Timpani, yang merupakan alat musik tabuh atau genderang. Timpani ini baru berkembang ketika perang salib dan orang Eropa baru mempelajarinya pada pada abad 13.
Warisan selanjutnya adalah solmisasi, yang merupakan sistem menempatkan sebuah suku kata berbeda ke setiap not dalam skala musik. Ia yang kini kita mengenalinya dengan do-re-mi-fa-sol dst. Ishaq Al Maushuli inilah yang mengenalkan Solmisasi yang kemudian juga terjadi perkembangan saat Al-Farabi muncul. Hal ini memicu kontroversi, karena di barat mengakui bahwa solmisasi barulah muncul dari tokoh Guido Arezzo. Walau demikian, bukti kuat tetap menunjukkan jika warisan-warisan ini sebetulnya sudah melalui peenerjemahan ke berbagai bahasa dan terbaca oleh banyak orang barat. Termasuk juga Solmisasi ini, terjemahannya telah hadir di Catalogna. Kemudian salinan itu telah terbit di Monte Cassino pada abad kesebelas. Dan fakta sejarah menunjukkan bahwa Monte Cassino ini pernah terhuni umat muslim dan Konstantin Afrika sempat menyinggahinya.
Ruh Musik dan Dampaknya
Dalam karya Al-Farabi, nampaklah jelas bahwa sang filusuf ini ingin mengenalkan musik sebagai proses kratif ruhani. Dari penyusunannya, Al-Musiqa Al-Kabir begitu rinci menjelaskan apa itu melodi, ritme, serta seluk-beluk penciptaannya. Bagi Al-Farabi, melodi tidak serta merta bebunyian yang tercipta tanpa dasar. Baginya, melodi merupakan rasa, bayangan, hingga penalaran. Ia merupakan sebuah ciptaan yang memiliki ruh kuat dari penciptanya.
Baca juga : *Puncak Epistemologi Al-Ghazali *Urgensi Manthiq dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Musik menjadi satu peneduh dan solusi dari segenap permasalahan. Al-Farabi menunjukkan beberapa kebermanfaatan musik seperti : Kesembuhan jiwa, jalan spiritual, dan media terapi penyembuhan psikosomatik. Penyakit-penyakit itu membutuhkan terminal kesunyian dan melodi-melodi keteduhan guna membangkitkan kembali mental yang hancur.
Terlepas dari perdebatan panjang di kalangan fuqaha soal keharamannya, musik tetap memiliki pengaruh penting untuk keberlangsungan hidup. Segala bebunyian di alam semesta ini selalu menyimpan ruh kebesaran sang pencipta, begitu kiranya bahasa Al-Farabi. Musik terbentuk dari rasa yang demikian. Maka musik seharusnya pun demikian. Ia adalah suara hati sang musisi. Musik yang ia ciptakan adalah proses resepsi terhadap keindahan ciptaan Tuhan dan sebuah proses untuk tajalli pada Tuhan. Wallahua’lam.
Abu Nashr Muhammad Al-Farabi. Al-Musiqa Al-Kabir. Tahqiq : Abd Malik Khasybah. Cairo : Dar al-Kitab al-Araby
Philip K. Hitti 2002. History of The Arabs (Terj). Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Subhi Mahmashony Harimurti. Seni pada Masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah Tahun 711 – 950 Masehi. INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental · April 2015.
Ro Hani dan Suryo Ediyono. Terapi Musik Menurut Al-Farabi Pada Masa Dinasti Abbasiyah. Jurnal CMES Sastra Arab Undip. Juni 2019.
[…] Juga a. Ngaji Fiqh Shiyam Hasan Hitou b. Musik di Zaman Abbasiyah c. Memahami dua makna Realitas Fikih Waqi dan […]