Kolom

Nahdliyyin dan Kekuatan Supranatural

Akhir-akhir ini saya suka membaca tulisan-tulisan Pak Mas’ud Adnan-penulis nahdliyyin, aktivis, sekaligus praktisi media-tentang Gus Dur. Salah satu tulisan Pak Mas’ud yang diberi judul “Supranatural Hitler, Nabi Sulaiman, dan Presiden RI”, membuat saya tekekeh sendiri. Dalam tulisannya itu sangat menggelitik tentang bagaimana tokoh-tokoh penting dunia ternyata juga percaya pada sesuatu yang supranatural. Dan pembacaan itulah yang melahirkan judul ini. Walau terbilang tidak terlalu bombastis, tapi sebetulnya ini sangat menarik untuk diulas. Bermula dari dua hari yang lalu, saya melawat ke Ampel. Kondisi tempat wisata religi Ampel tak pernah lengang dari hiruk pikuk orang-orang. Begitupun kondisi jalan masuk menuju pesarean. Setidaknya kuncen di sana tak pernah libur menjaga, selalu ramai peziarah selama dua puluh empat jam setiap hari.

Hampir di setiap tempat-tempat pesarean waliyullah, orang-orang selalu berduyun-duyun ke mata air. Begitupun di Ampel, saya pun ikut mengantri dan beberapa kali kesempatan harus berdesakan dengan para peziarah di sana. Tujuan mereka hendak minum, berwudlu atupun membawa botol-botol untuk diisi ulang sebagai bekal di perjalanan. Mereka memiliki keyakinan yang beragam soal air itu. Ada yang bilang sumber mata air itu mengandung keberkahan, adapula yang menyebut sebagai wasilah penyembuhan, dan bahkan adapula yang menyebut sebagai wasilah kemuliaan. Hemat penulis, pemandangan semacam itu bukan persoalan ritual agama yang menyimpang. Sebaliknya, hal itu adalah sebuah penggambaran jikalau orang nahdliyyin itu percaya pada segalanya yang supranatural.

Tak hanya itu, kalau dicerna mendalam, segala ritual-ritual ke-NU-an selalu memiliki nilai kesupranaturalan. Boleh diyakini jikalau menjadi orang NU sebetulnya adalah bentuk pengejawantahan manusia seutuhnya. Artinya, sehebat apapun manusia dalam berpikir rasional tentang hidupnya, pasti memiliki sisi ketidakberdayaan. Dalam keimanan orang-orang NU, sebetulnya sudah terperinci soal “Mukjizat, Karamah dan juga Maunah”. Kyai-kyai sepuh, guru-guru mengaji dan sampai muballigh-muballigh kondang sering mengulas tentang hirarki itu.

Pertama, Dari kedudukan tertinggi dalam keimanan supranatural yaitu Mukjizat. Sebuah kemukjizatan sudah sangat jelas dimiliki oleh semua Nabi dan Rasul. Kekuatan-kekuatan supranatural yang dimiliki para Nabi dan Rasul tiada lain berguna untuk melemahkan musuh-musuhnya. Nabi Isa AS mampu menghidupkan orang mati, Nabi Musa AS dapat membelah lautan, Nabi Yusuf AS mampu menyembuhkan kebutaan ayahnya dengan mengusap pakaiannya ke meripatnya, Nabi Daud AS dengan mukjizat kemampuan supranaturalnya dapat melunakkan besi. Belum lagi Rasulullah Saw dengan segala kebesaran mukjizatnya diantara utusan yang lain.

Selanjutnya Karamah, tak usah diragukan lagi, semua waliyullah telah melewati fase ini. Bahkan tak usah jauh-jauh menelisik bagaimana kehebatan kekuatan wali-wali zaman dulu, melihat kyai-kyai sepuh NU sekarang saja sudah jelas di depan mata karamahnya. Kejadian-kejadian diluar nalar selalu tersaji dalam pengalaman-pengalaman beliau-beliau. Bahkan jikalau ditelisik akan kisah-kisah keramatnya kyai-kyai NU, dimulai Mbah Hasyim Asy’ari selaku muassis beserta kolega seangkatannya sampai dengan generasi kyai-kyai kita saat ini, rasa-rasanya sudah menjadi kumpulan kisah yang berjilid-jilid.

Lalu orang-orang NU bawahan semacam kita ini, juga tak lepas dari kekuatan supranatural itu. Bahasa agama menyebutnya Maunah. Dari sinilah peran-peran air keramat, doa kyai, hingga konsep semacam keberkahan itu berjalan. Memang, dalam pandangan kebanyakan orang, jamaah nahdliyyin itu tergolong menengah ke bawah. Bisa dikatakan mereka-mereka yang sering berteriak nderek kyai adalah kelompok wong cilik yang begitu besar khidmatnya. Namun, saya pun hendak menepis asumsi itu. Bagaimana bisa dikatakan NU adalah sekumpulan orang menengah ke bawah, sedangkan angka-angka kebesaran NU benar-benar membuat kita semua sedikit terbelalak. Sebelum muktamar tahun 2021 semisal, rekapan-rekapan prestasi NU sangat membanggakan. Tercatat, NU memliki Lembaga Perguruan Tinggi sejumlah 274 instansi. Belum lagi soal pesantren, bisa dibilang NU adalah penguasanya. Ditambah lagi fasilitas-fasilitas Pendidikan semacam Lembaga Maarif Madrasah, dan juga Rumah Sakit. Masihkah dikatakan orang NU itu terlalu pas-pasan?.

Bahkan tidak bermaksud untuk berlebihan jika saya harus mengatakan orang NU itu sakti-sakti. Kalau orang Jawa bilang dungane mandi-mandi (doanya mustajab). Pasalnya, di dunia ini orang-orang banyak mengejar perosalan rasionalitas pada dunia. Bahkan, bisa dikata banyak orang berujar jika hidup itu harusnya rasional saja. Belum lagi persoalan-persoalan semacam hak hidup, uang, politik, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu tak bisa dipikir hanya dengan mbatin ataupun mengandalkan kepasrahan pada Tuhan. Namun orang NU tak demikian. Di tempat saya, ada sebuah masjid baru saja dibangun. Berawal dari sedikit rasa pesimis yang melanda, hingga berakhir pada rasa takjub dan tak percaya bagaimana sebuah masjid besar selesai dalam waktu kurang lebih lima tahun. Jikalau anda bepergian ke wilayah Pasuruan, tepatnya di Cangkringmalang Kecamatan Beji, akan hadir sebuah masjid dengan arsitek megah dan kubah yang menawan. Padahal dulunya, saya tak pernah berekspektasi bakal menjadi sebesar itu.

Poin utamanya bukan soal masjidnya yang megah, melainkan penalaran yang begitu sulit saya terima. Setiap harinya masjid yang bersangkutan meminta sumbangan di depan jalan sembari memasang kotak amal di beberapa sudut. Tak begitu banyak yang saya lihat, bahkan kotak-kotak amal itu sebagian besar hanya terisi uang koin dan nominal seribu sampai lima ribu rupiah. Setiap menjelang ibadah Jumat, takmir tiada henti-hentinya mengumumkan pembangunan masjid dan kebutuhan dana, sebagai pamungkasnya ditutup dengan seruan Al-Fatihah!.

Kalau boleh disimpulkan secara tegas, menjadi NU adalah salah satu pintu dari banyaknya pintu langkah keselamatan. Teringat pesan Mbah Hasyim Asy’ari yang saya baca di gapura pintu masuk Ponpes Mambaul Ma’arif Denanyar, “Siapa yang mau mengurusi NU, aku anggap sebagai santriku. Siapa yang jadi santriku, maka aku doakan khusnul khatimah beserta keluarganya.” Kalau sudah ada ucapan keramat sang muassis semacam itu, maka tak bisa kita mengelak, jika orang-orang NU itu benar-benar keramat dan sakti-sakti.

Bahkan, seperti apa yang saya tulis di bagian pembuka tentang ulasan Pak Mas’ud tentang kenyelenehan dan kesaktian Gus Dur yang diakui petinggi negara. Harusnya semua orang percaya pada adanya kekuatan supranatural. Jangankan NU, sosok Adolf Hitler saja takut dengan kekuatan Tombak Suci atau dikenal Tombak Takdir yang dikeramatkan Ras Arya Jerman. Kemudian Presiden Sukarno pun percaya dengan kekuatan supranatural dalam kerisnya. Jadi, bagaimanapun juga, siapapun yang mengategorikan dirinya sebagai paling modernis dan anti bid’ah di dunia ini sekalipun, yakinlah, mereka pasti punya suatu hal supranatural yang mereka yakini. Orang NU sudah lebih maju soal keyakinan itu.

Asal Pasuruan Jatim. Kolumnis dan Cerpenis di beberapa media massa. Menyelesaikan studi Sarjana Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif dalam keorganisasian Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Bangil Pasuruan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *