Ngaji Fiqh Shiyam-Dalam kesempatan kali ini, bertepatan dengan bulan Ramadan 1445 H. Penulis akan mencoba mengurai bab mengenai puasa yang bersumber dari kitab “Fiqh Shiyam” karya Dr. Muhammad Hasan Hitou. Beliau seorang pakar fiqh pada masanya yang masyhur dengan berbagai karya literatur. Tidak hanya itu, Hasan Hitou adalah seorang Guru Besar, Faqih, dan Ushuli sejati Guru Besar di Universitas Kuwait dan mendirikan Universitas al-Imam as-Syafi’i di Cianjur Jawa Barat.
Ngaji Fiqh Shiyam (1): Menakar Makna dan Segala Hal yang Berhubungan dengan Puasa
Kitab “Fiqh Shiyam” memiliki spesifikasi tersendiri yang berkaitan dengan cara pandang penulis yang khas. Selain menyoroti aspek hukum dalam ibadah puasa, kitab tersebut juga berbincang kebiasaan masyarakat dalam mengamalkan puasa dengan bahasan kristisnya. Misal, anggapan masyarakat bahwa adzan subuh masih boleh untuk makan dan minum sampai adzan selesai. Selain itu, misalnya tidur adalah bagian ibadah sunnah dalam berpuasa, dan juga kasus-kasus fiqhiyah lainnya.
Menyoroti Arti Puasa dalam Kitab “Fiqh Shiyam”
Puasa, dalam pengertiannya yang umum, merupakan tindakan menahan diri. Ini berarti menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Contohnya adalah ketika seseorang memilih untuk berdiam diri, atau puasa dari berbicara. Secara syariat, puasa memiliki ketentuan yang sangat khusus. Kekhususan itu seperti dalam ungkapan “imsak mahshushin, an syai’ mahsushin, fii zaman mahshushin min syakhshin mahshushin”. Semuanya memiliki aturan yang jelas, mulai dari tata cara, waktu, dan segala hal terkait dengan puasa. Sebagai contoh, puasa Ramadan wajib hanya pada bulan Ramadan, tidak pada bulan-bulan lainnya. Ketentuan ini terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185 yang mewajibkan umat Islam untuk berpuasa di bulan Ramadan.
Sale Ramadhan : Dapatkan alat tulis dan buku-buku murah sekarang juga
Sebuah praktik spiritual yang melibatkan tindakan menahan diri dari hal-hal tertentu adalah puasa secara definitif. Dalam konteks ini, puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minums saja. Lebih dari itu, juga menahan diri dari perilaku yang dapat membatalkan puasa. Misalnya, seseorang yang memilih untuk berpuasa juga dapat memilih untuk berpuasa dari berbicara, menunjukkan pengendalian diri yang kuat. Aturan-aturan yang terkait dengan puasa, baik itu dalam tata cara, waktu, maupun syarat-syarat lainnya, sangatlah spesifik dan jelas dalam ajaran Islam. Sebagai contoh, kewajiban berpuasa hanya untuk pada bulan Ramadan, sesuai dengan petunjuk dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185.
Ngaji Fiqh Shiyam (1): Menakar Makna dan Segala Hal yang Berhubungan dengan Puasa
Puasa memiliki makna yang mendalam dalam praktik keagamaan Islam. Ini bukan hanya tentang menahan diri secara fisik, tetapi juga tentang pengendalian diri dan kesadaran spiritual. Pengertian ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang ketat terkait dengan puasa, yang mencakup segala aspek, mulai dari tata cara pelaksanaan hingga penentuan waktu yang tepat. Salah satu contoh aturan yang sangat spesifik adalah kewajiban berpuasa hanya pada bulan Ramadan, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185. Dengan mematuhi aturan-aturan ini, umat Islam mengambil langkah menuju pengalaman spiritual yang lebih dalam selama bulan Ramadan.
[…] syariat tidak mewajibkan non-Muslim untuk berpuasa, dalam fiqh shiyam tertulis bahwa mereka akan mendapat permintaan pertanggungjawaban atas puasa di akhirat. Meski […]
[…] Juga a. Ngaji Fiqh Shiyam Hasan Hitou b. Musik di Zaman Abbasiyah c. Memahami dua makna Realitas Fikih Waqi dan […]