Ikhtilaf Ulama’ dalam Penyebutan Term “Ramadan”
Menariknya lagi dalam kitab “Fiqh Shiyam” terdapat bagian yang membahas; apakah hukumnya makruh berkata “Ramadan”? Ternyata beberapa ulama malikiyyah menghukumi makruh jika seseorang berkata “Ramadan” tanpa menyertakan kata “bulan”. Jadi alangkah lebih baik mengatakan “Bulan Ramadan”, karena Ramadan merupakan salah satu nama Allah yang agung. Namun, lagi-lagi ini hanya soal khilaf ulama’ saat itu. Sebagian ulama’ lainnya menyatakan dalam penyebutan kata “Ramadan” ini terdapat rinciannya. Ada kalanya terdapat qarinah dan ada kalanya tidak ada. Mereka berkata jika kamu temukan qarinah yang mengubah (pikiran orang yang menyebut atau pendengarnya) kepenyebutan bulan maka tidaklah makruh, sedangkan bila tidak ada maka makruh.
Misalnya perkataan orang: Aku berpuasa Ramadan, aku beribadah di malam Ramadan, Ramadan paling utama bulan, hal ini tidaklah makruh. Yang makruh contohnya: Telah datang Ramadan, aku suka ‘Ramadan. Berkata Imam Nawawi: pendapat yang shahih adalah pendapatnya para ulama’ Muhaqqiq yang menyatakan tidak makruh. Dua pendapat sebelumnya adalah fasad (rusak), karena yang bisa menyebabkan makruh jika syariat telah secara spesifik menyebut adanya larangan, sedangkan di sini tidak ada syariat melarang. Selanjutnya perkataan mereka bahwa Ramadan adalah salah satu Nama Allah adalah tidak shahih, tidak ada yang menshahihkannya dan Nama Allah itu Tauqifiyyah.

Seandainya Ramadan itu benar Nama Allah, tidak mesti makruh saat diucapkan. Kemudian Imam Nawawi melanjutkan pernyataannya: Dan sungguh telah banyak hadits-hadits pada shahih5 bukhari Muslim yang menyebutkan Ramadan tanpa menyertakan kata bulan pada sabdasabda Nabi SAW. Salah satunya, hadits Sayyidina Abu Hurairah Ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila telah datang Ramadan dibukakanlah pintupintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dirantai setan-setan” (HR Bukhari Muslim).
Baca Juga : Memahami Perbedaan Dua Makna Realitas Fikih: Waqi’ dan Nawazil Kepemimpinan Perempuan di Ranah Publik
Ikhtilaf Ulama’ dalam Penyebutan Term “Ramadan”
Bergeser pada pembahasan cara berpuasa di awal Islam. Saat itu, tidak ada ketetapan waktu spesifik di awal-awal Islam dalam berpuasa, seperti layaknya puasa saat ini. Yakni dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Awal Islam itu terdapat larangan untuk orang yang berpuasa untuk makan, minum, jima’ dan lain-lain. Sejak mulai tidur sesudah Maghrib atau setelah shalat Isya, yang mana saja di antara dua hal ini dilakukan maka haramlah untuknya semua pembatal puasa. Kemudian hukum ini dihapus, lalu dibolehkan bagi seseorang untuk makan, minum, jima’ sampai terbit fajar shadiq, sama ada dia sudah tidur sebelumnya ataupun tidak. Wa Allaahu alam.
Berminat mengirim artikel? baca selengkapnya di sini
Sumber: Dr. Hasan Hitou. Fiqh Shiyam. Beirut: Daar al-Basyar al-Islamiyah. 1988.
Pages: 1 2