Peradilan Untuk Tikus-tikus Si Urip

Pagi yang tanggung, banyak orang masih tak membuka jaket mereka, sedang matahari sudah berusaha menyeruak dibalik awan abu-abu. Gudang ini selalu kesiangan. Timbangan duduk dan bertumpuk-tumpuk karung gabah saling ogah-ogahan dijamah. Pun apa yang terjadi dengan Urip, ia sudah layu di sebuah kursi. Subuh tadi istrinya sudah jingkrak-jingkrak membangunkan tidur pulasnya. Begitupula Mahda anaknya, ia menjerit-jerit di kamar mandi sambil memanggil-manggil namanya.

Urip gelisah dan salah sangka. Desa yang dikiranya sebagai tempat meneduh ternyaman ternyata tak sepenuhnya benar. Urip tak pernah membayangkan ancaman hidupnya melebihi suara kodok-kodok di kubangan lumpur sawah depan rumah. Justru tikus-tikus domestik dari lubang-lubang kalen yang menjadi ultimatum ketenangan hidupnya. Sebetulnya bukan hanya makanan yang dicuri. Tapi barang-barang dapur pun ikut habis. Toples-toples digerogoti dan juga tudung saji makan di rumahnya sudah berganti empat kali.

            Orang-orang gudang mulai berdatangan. Mereka juga kusut. Entah karena gabah di pembuka musim penghujan yang lama kering atau memang ada masalah hidup di rumah-rumah mereka.

            “Lemas sekali kau Rip,” sapa Mukit. “Harusnya semangat pagi calon juragan. Ini awal bulan,” imbuhnya dengan sindiran. Urip hanya menaikkan alisnya. Mukit itu satu-satunya orang gudang yang berani begitu padanya. Padahal secara kasta, Mukit hanyalah tukang panggul di gudang, sedangkan Urip sudah menjadi semacam asisten mandor. Namun ia tak mau membuat masalah pagi ini.

            “Kau masih ingat serangan tikus-tikus di gudang ini setahun yang lalu Kit?.” Mukit ngeloyor ke arah timbangan. “Kenapa? kau mau beternak tikus?.”

“Kampret, maksudku aku bertanya soal cara membasmi yang ampuh hewan-hewan liar itu,” tandas Urip kesal. “Hahaha, sudah pakai lem tikus?.” Urip pun tak puas mendengar Mukit. Ia merasa sudah selusin membeli lem tikus. Namun hewan-hewan itu masih berlarian di rumahnya siang dan malam.

“Tak mempan, aku curiga mereka itu sudah punya serupa kerajaan di daerah persawahan sini. Lebih-lebih di rumahku.”

Mukit pun menoleh, ia meringis tersenyum geli melihat kegilaan Urip. “Oh Tuhan, sampai segila ini kau sekarang.”

“Sulit memang membuatmu percaya. Hidupku benar-benar bising dibuat ulah mereka. Aku sampai berpikir jika sepertinya mereka sudah ulung sekarang. Tikus-tikus yang kujumpai sudah berbeda level kecerdasan dengan apa yang kita jumpai di gudang ini waktu itu.”

“Kau pikir mereka sudah cerdas?. Oh sial, orang ini sudah edan sekarang,” ucap Mukit sambil mulai beranjak menuju karung gabah yang bertumpuk.

“Tempe tahu sudah tak mau Kit. Bahkan sepertinya lem gajah sekalipun tak mebuat mereka takut. Sudah tahu goreng, biji jagung, sampai gabah pun aku pancingkan.”

“Edan!,” Mukit semakin terperangah. “Kalau itu memang kelas kakap sih, hahaha.”

Urip tahu Mukit masih tak percaya sebetulnya pada ceritanya. Setahun yang lalu, gabah-gabah gudang ini jadi bulan-bulanan tikus. Hampir tak ada karung yang tak bolong setiap harinya. Lagi-lagi sama, masih semasa momentum memasuki hawa penghujan. Layaknya invasi musim dingin, tikus-tikus itu beranak pinak selama setahun dan keluar membabi buta menjelang akhir tahun. Orang-orang gudang pun resah. Tatkala akses kalendi saluran pembuangan gudang sudah mereka pasangi kerangka kawat, namun tikus-tikus itu masih saja lolos. Pun dengan rumah Darmaji dan Sueb. Dua rumah tepat kanan-kiri gudang itu juga jadi wilayah ekspansi mereka. Parahnya, bukan hanya gigi-gigi mereka yang menggerogoti perabotan rumah, melainkan kotoran mereka menimbulkan wabah tifus skala satu gang desa.

“Lalu mereka ingin apa?,” lanjut Mukit. Urip melirik, ia kira ceritanya tak menarik.

“Pernah pindang di meja ludes. Telur asin pun demikian. Bahkan masuk paci sayur gori pun pernah.”

“Gokil!!!, hahaha. Aku percaya kalau begitu.”

“Percaya kalau mereka cerdas?.”

“Bukan, percaya pada dunia khayalanmu tentang kerajaan tikus tadi, hahahaha.” Sial, ternyata Mukit masih meledeknya habis-habisan.

Di luar, hujan mulai merintik. Pagi yang benar-benar sendu. Truk gabah datang, dan aktivitas gudang pun dimulai.

====================

            Malamnya, Urip sibuk dengan alat perangkap dan batu tumbuk rempah di depan rumahnya. Mulai kapur barus, lada, bubuk kopi, merica, hingga bawang sudah ia siapkan. Ia tak ingin kecolongan lagi. Istrinya pun kaget melihat suaminya pulang juga membawa sebalok keju dan cokelat.

            Urip sudah merangkum semua saran orang-orang yang didengarnya. Mulai dari rempah-rempah sampai camilan mewah semacam keju dan coklat ingin ia pasang semuanya. Malam ini, ia akan beraksi. Hanya tinggal tindakan represif saja, soal kebersihan rumah ia sudah melakoni bersih-bersih setiap harinya. Adakalanya tak terlalu baik terlalu berpikir bijak pada keadaan mendesak semacam ini, ia harus bertindak. Jikalau perlu, balas dengan tindakan membabi buta, sekalian.

            Setiap sudut tak ada yang terlewat. Ia memasang semua perangkap selagi mungkin. Sebetulnya, ia awalnya tak percaya tentang kesukaan tikus itu camilan semacam keju seperti di film-film kartun televisi. Tapi apa boleh buat, ia merasa sepertinya tikus-tikus domestik sudah terpapar arus modernisasi barat. Percayalah, ini pasti ampuh, batinnya.

            Ia masih terjaga sepanjang malam. Bagaimanapun juga operasi tangkap tangan harus dilakukan dengan kehati-hatian. Tak harus dengan pukulan, semua bisa diawali dengan perangkap yang dipasang. Pelan tapi pasti. Lebih-lebih jika pelan tapi sakit. Jika sudah kena, tak ada ampun, tak ada remisi, atau tinjauan ulang. Hanya satu kata, tikus-tikus itu harus mati.

Urip pun duduk-duduk santai di kursi sambil matanya melirik tajam ke sekeliling. Hawa dingin tak membuatnya bergeming. Meski matanya sayu, tapi ia tak ingin kelewatan momentum ini. Hatinya masih tak terima. Harusnya mereka hidup di sawah, makan yang ada. Kacang, biji padi, sampai umbi-umbian adalah yang sajian yang layak dan pantas untuk mereka, bukan malah pindang hingga toples-toples rumah. Apa kalian tak pernah berpikir bagaimana para ular akan hidup tanpa kelaparan jika tikus-tikus itu hidup di rumah Urip?. Jikalau dipikir-pikir, segalanya yang melewati batas dan diluar siklus yang semestinya itu memang merusak. Dasar tikus-tikus tak tahu diri.

            “Kena kau!!!,” mata Urip berbinar-binar sambil melotot bengis. Ia masih tak beranjak dari duduknya, hanya melihat dari kejauhan apa yang terjadi di sudut, di balik almanak perabotan istrinya. Ia masih terus menunggu korban-korban selanjutnya berjatuhan. Ia pun menggosok-gosok kedua telapaknya sambil lidahnya ia mainkan di bibir—serupa psikopat nakal yang lapar—dengan hembusan nafas yang berapi-api.

            Dua-tiga-empat, batinnya menghitung antara detik-detik teringkusnya tikus-tikus di depannya dan jumlah korban yang ia dapatkan. Keju benar-benar mujarab. Apa memang tikus-tikus itu akan masuk perangkap jika diiming-imingi sesuatu yang mahal?. Ataukah memang sesuatu yang mahal itu menggiurkan mereka?. Ah sudahlah, yang penting mereka kapok sekarang.

            Pukul sebelas lima belas ia beranjak dari tempatnya. Saatnya masuk prosesi peradilan. Jari-jemarinya ia tarik-tarik untuk peregangan. Bunyi sendi-sendinya menunjukkan ia siap memberi hukuman berat pada tikus-tikus yang teringkus. Ia menghadap ke arah perangkapnya dengan tatapan keji. Nampak wajah tikus-tikus itu kusut dan gemetaran. Mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit yang tak aturan. Jikalau boleh ditafsirkan, mereka seperti tahanan yang tak mampu berkata-kata lagi saat menghadapi seorang hakim yang akan menjatuhi putusan.

            Sidang pun dimulai. Kini lima perangkap telah Urip sejajarkan di depannya. Terhitung sembilan tikus tertangkap basah tak bisa kabur. Lima berukuran dewasa sedangkan  empat sisanya sepertinya masih amatiran. Tangan Urip sudah menyiapkan karung goni tebal. Ia sudah mengira-ngira jika gigi mereka tak akan sanggup merobeknya. Ditatapnya tajam mata mereka satu-persatu.

“Kalian mau kabur ha?. Ingat, semua tindakan ada balasannya. Kau hancurkan toples-toples rumahku, kau habiskan tudung saji meja makanku, kau gerogoti makanan di atas piring sampai kau buat istri dan anakku menjerit-jerit setiap subuh. Sekarang, kalian harus mendapatkan balasannya!.” Urip begitu keras pada mereka. Satu-persatu raut muka mereka menunjukkan penyesalan. Lebih-lebih empat yang masih muda, ia meneteskan air mata tak siap akan hukuman si Urip.

Tiba-tiba hati Urip terketuk melihat wajah hewan berkumis yang malang itu. Mereka saling berhimpitan tak berani protes. Persis seperti manakala pelaku pidana berjejer rapi di depan awak media. Pun tikus-tikus itu demikian, mereka sudah ciut nyali. Mungkin boleh dikata jika hati mereka saat itu meronta-ronta berharap belas kasihan pada Urip.

“Oh sial wajah kalian pintar mengetuk hatiku ternyata. Semprul!. Harusnya kubakar saja kalian!,” ucap Urip berapi-api. Ia menarik nafas mengatur tempo amarahnya.

 “Baiklah, karena aku masih punya belas kasihan melihat penyesalan-penyesalan kalian, hukumannya tak ada sangkut paut dengan nyawa. Esok, kalian kubuang jauh-jauh. Sepertinya terasing dari manusia adalah hukuman terbaik buat kalian.”

=========

            Esoknya Urip sudah menyambut harinya dengan semangat di gudang. Nampak senyumnya penuh kelegaan. Karung goni berisi tikus-tikus itu ia tenteng dan ia pertontonkan pada orang-orang gudang, terlebih pada Mukit yang kemarin meledeknya habis-habisan.

            “Perangkap apa yang kau pasang?,” bisik Mukit pada Urip.

            “Kenapa kau tanya begitu?.”

            “Kemarin malam sepertinya ada satu tikus yang mulai harus segera diringkus di rumah.”

            “Khakhakhakha, apa kubilang. Akhirnya kau percaya juga, musim hujan sudah ditandai oleh mereka,” tawa Urip begitu puas. “Begini, cara operasi tangkap tangan terbaik itu adalah dengan memancing. Kuulangi me-man-cing.” imbuhnya lirih pada  Mukit.

            “Maksudmu?.”

            “Pancing dengan kemewahan. Mereka sudah tak level mencuri gabah. Naik tingkat, keju semisal, atau kau mau pancing dengan uang ratusan ribu, khakhakhakha,” tawanya menggelengar diselipi ledekan yang berapi-api. Lalu Urip meninggalkan Mukit yang masih melongo. Ia berencana ikut truk gabah untuk mencari tempat yang pas guna pengasingan tikus-tikus malang itu. Ia awalnya berpikir mencari hutan, tapi nyatanya hari ini truk tak membawanya ke sana. Justru ia ke kota, menuju hiruk pikuk keramaian di sana. Biar tikus-tikus itu di sana, menggemuk dan makmur dengan makanan dan kemewahan orang-orang kota. Atau mungkin tikus-tikus itu justru bertemu saudara-saudaranya nantinya, di jalan kota, di taman, di trotoar, di kasino, di bar, atau bahkan di gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Biarlah mereka menemukan makanan lezat nan mewah tuk mengisi kerakusan mulut mereka. Padi di desa, biar hanya diakuisisi oleh burung-burung yang tak begitu rakus. Oh ya, soal gedung-gedung perkantoran, rasa-rasanya tikus-tikus juga selalu makmur di sana.  

Muhammad Farhan

Asal Pasuruan Jatim. Kolumnis dan Cerpenis di beberapa media massa. Menyelesaikan studi Sarjana Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif dalam keorganisasian Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Bangil Pasuruan.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *