Peranan Ijtihad sebagai Metode Istinbath di Era Kontemporer

Secara istilah ijtihad adalah sebuah metode yang ditawarkan dalam Islam dengan cara penarikan hukum melalui al-Qur’an dan Sunnah menggunakan kaidah-kaidah ushuliyyah. Dalam garis besarnya, penguasaan maqashid syari’ah mutlak diperlukan sebagai upaya melakukan istinbath al-ahkam. Maqashid syari’ah ini menjadi jalan memudahkan para mujtahid dalam menentukan kedhabitan aturan-aturan hukum serta sisi mashlahah wa mafsadah. Terutama dalam memberikan pemahaman serta kejelasan terhadap berbagai persoalan hukum kontemporer.

Setiap mujtahid seyogyanya mampu mengetahui tujuan pensyari’atan hukum Islam. Selain itu, tujuan hukum juga perlu diketahui dalam rangka memastikan apakah hukum masih relevan terhadap suatu kasus tertentu karena adanya perubahan struktur sosial. Dengan demikian, pengetahuan mengenai maqashid syari’ah menjadi sarana keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. Seperti apa yang dikatakan Imam al-Ghazali tentang ijtihad:

 ” بَذْلُ المجتهدِ وُسْعَهُ في طلب العلم بأحكام الشرع “

“Pengetahuan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syara’”.

Urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari beberap fungsinya yang meliputi: 1) al-Ruju’ atau al-‘Idalah, dengan mengembalikan ajaran Islam kepada sumber pokok. 2) al-Ihya’, yaitu menghidupkan kembali semangat ajaran Islam dengan mempu menjawab tantangan zaman. 3) al-Inabah, yang diartikan sebagai bentuk pembenahan ajaran Islam yang telah diijtihadi ulama’ terdahulu yang mungkin saja tidak relevan dengan konteks zaman, keadaan, serta tempat yang dihadapi sekarang ini. Dari situlah fungsi ijtihad dapat diartikan sebuah “tajdid”. Yang berarti pengembangan istilah dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, renovasi, revitalisasi, rasionalisasi, hingga modernisasi dengan tetap merujuk pada sumber inti yaitu al-Qur’an dan Sunnah.

Medan Ijtihad: Menyoal Batasan-Batasan

Selanjutnya kita menuju pembahasan spesifikasi lapangan objek ijtihad. Hal itu atas sebab perlunya pembatasan dalam memilah-milah bidang hukum Islam yang boleh dan harus ditetapkan dalam metode ijtihad itu. Dapat dikatakan secara umum, lapangan ijtihad bertitik pada pencapaian atau penggalian hukum-hukum syara’ (al-ahkam al-syar’iyyah)yang tidak ditegaskan dengan nash-nash yang dzanni. Adapun Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa yang tidak boleh menjadi lapangan ijtihad ialah masalah hukum yang ditetapkan dengan dalil-dalil qath’i al-subut dan qath’i al-dhalalah seperti sembahyang lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, haji, dan semacamnya.

Lapangan ijtihad di era kontemporer erat kaitannya dengan penyelesaian masalah-masalah fiqh kontemporer, pembaharuan dan pengembangan hukum Islam, dan penemuan hukum Islam. Selain itu juga menentukan kriteria ijtihad kontemporer dengan menggali, menemukan, menetapkan, dan mengembangkan pemikiran hukum Islam serta menyelesaikan masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat.

Ijtihad Dewasa Ini

Sebagian literatur Islam yang membahas bab mengenai ijtihad, sering ditemui sub bahasan terkait tertutupnya pintu ijtihad. Istilah demikian semakin jarang ditemukan dalam literatur hukum Islam ulama’ mutaakhirin. Banyak ulama’ berpendapat bahwasannya ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang ringan, namun tetap diperlukan. Karena itu persoalan hukum senantiasa muncul dari beragam aspek karena batas dan waktu, sedangkan nash-nash terbatas. Oleh sebab itu upaya ijtihad harus dilakukan di era kontemporer ini.

Ijtihad hari ini berbeda dengan upaya ijtihad di masa lampau. Hal ini disebabkan karena persoalan-persoalan yang sangat kompleks. Dalam pemecahan problem perlu melalui pendekatan yang tidak terbatas pada hukum saja. Melainkan perlu adanya kajian disiplin-disiplin keilmuan seperti kesehatan, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan politik. Melihat kenyataan yang terjadi, ijtihad yang baik adalah ijtihad yang bersifat kolektif. Pengumpulan sumber hasil produk kerja sama dari berbagai sudut pandang keilmuan lebih dapat mendekati kebenaran dibanding hanya dari satu sudut pandang saja.

Ijtihad jama’i (kolektif) adalah suatu mekanisme penetapan hukum Islam (fiqih) oleh para ulama Islam (mujtahid) untuk menghasilkan putusan hukum dari permasalahan-permasalahan tematik terkini. Langkah awal adalah dengan melakukan penelitian atas hasil putusan hukum sebelumnya dengan kasus serupa, yang didasarkan atas argumentasi (dalil) ulama-ulama. Aktivitas selanjutnya adalah melakukan proses seleksi pendapat (tarjih) untuk menentukan pilihan atas dalil terkuat dan paling relevan diantara dalil yang ada.

Pada era kontemporer ini, ijtihad jama’i memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam membuat tasyri’ (hukum Islam). Ijtihad kontemporer dilakukan dengan cara mensinergikan antara metode ushul fiqh klasik dengan metode ilmiah modern yang praktiknya melibatkan berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dengan demikian ijtihad dilakukan dengan melalui berbagai pendekatan relevan agar menghasilkan produk hukum yang tepat sasaran dan mampu menjawab substansi problem yang terjadi.

Referensi:

Yudian Wahyudi. 1993. Hasbi’s Theory of Ijtihad in The Context of Indonesian Fiqh.

Imam Syaukani. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia.

Sirry Mun’in A. 1995. Sejarah Fikih Islam: Sebuah Pengantar.

Muhammad Syihabuddin

Santri dan pembelajar. Menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Mambaus Solihin Gresik dan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta. Ia juga menyelesaikan studi sarjana Sosiologi Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *