Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali adalah seorang teolog dan filsuf muslim besar dari persia, yang dikenal sebagai al-Gazel di dunia Barat pada abad pertengahan. Gelar al Hamid yang dinisbatkan kepadanya ialah nama putranya yang sudah meninggal saat masih bayi. Di puncak kejayaannya semua orang terkagung dengannya, karena dia menulis hampir di semua bidang keilmuan.
Suatu ketika kakaknya al-Ghazali datang menemuinya dan berkata satu kalimat “Wahai batu asah, sampai kapan kamu menajamkan peralatan pedang pisau dan macam-macamnya, sedangkan kamu sendiri tidak menjadi tajam” Maksud dari perkataan itu ialah, al-Ghazali setiap hari selalu menajamkan orang lain sedangkan dia sendiri itu tidak menjadi tajam, karena batu asah itu tidak tajam tetapi hanya dapat menajamkan. Perkataan ini lah yang membuatnya menjadi galau luar biasa. Kegelisaahan itu mengantarkan al-Ghazali pada hari-hari penuh perenungan dan uzlah. Jalan kesufian pun ia tempuh hingga lahirnya karya-karya besarnya. Uzlah yang dilakukan juga menjadikan al-Ghazali jauh lebih berhati-hati dalam setiap keraguan berpikirnya. Puncak kebijaksanaan inilah yang menjadikan semua karyanya menjadi magnum opus yang bertahan sepanjang zaman. Dalam satu riwayat semisal, Keraguan al-Ghazali dalam al munqidz min al-dalal, ia betul-betul tak meletakkan dalil bantahan sebelum ia melakukan pembuktiannya, al-ghazali juga tidak akan mengkritik filsafat sebelum dia pernah menulis maqasidul falasifah, dan bahkan ia juga tidak akan mengkritik syiah sebelum dia menulis batiniah syiah.
Dari kehati-hatian menuju pengembaraan yang jauh
Apa yang dilakukan al-Ghazali atas segala keraguannya membawa pada kematangan-kematangan klasifikasi pengetahuan. Di tangan Al-Ghazali, ilmu pengetahuan memiliki wajah masing-masing dengan koridor spesialisasi yang matang. Dari al-Ghazali pula tidak ada lagi pembiasan batasan antara filsafat murni dan kalam, serta hal-hal yang berunsur batiniyah. Tiga komponen itu ia mampu rincikan dengan segenap argumentasi yang terukur.
Dapatkan serial buku Imam Ghazali. Penawaran murah saat ini juga :
c. Ihya Ulumuddin Untuk Orang Modern
d. Resep Bahagia Imam Al-Ghazali
Hirarki ketiganya menunjukkan bahwa puncak pengetahuan yang didapat al-Ghazali tidak lepas dari ketidakberdayaannya. Tuhan adalah realitas tak terbatas dan manusia hanyalah setetes keterbatasan. Tasawuf menjadi titik tertinggi baginya, mengenai persoalan pengungkapan-pengungkapan kebenaran. Kalam semisal, ia adalah serangkaian pemahaman tentang hal-hal metafisik yang diberi batasan-batasan. Pun apa yang terjadi dengan filsafat. Boleh jadi ia adalah lautan luas yang berguna untuk segala hal yang berkaitan dengan materi (matematika, astronomi dan segala yang dalam lingkup eksakta). Pada puncaknya, ia tidak mampu menafikan unsur batiniyyah dalam segala pengetahuannya. Tasawuf menjadi bidang yang paling tajam dalam ciri khas setiap karya-karyanya. Bahkan boleh dikata, perjalanan berpikir al-Ghazali adalah penggambaran pengembaraan salik yang jauh. Ia berangkat dari tradisi rasional menuju tradisi kesufian hingga akhir hayatnya.
Ilmu tasawuf melunakkan segala otoritas keangkuhan dari kebenaran-kebenaran yang dogmatis. Al-Ghazali dan para sufi-sufi setelahnya adalah para salik yang tidak berhenti hanya pencarian kebenaran dan penngukuhan kepastian. Karena bagaimanapun juga pengalaman-pengalaman-lah yang menjadi pengetahuan puncak dan terukur oleh subjek yang mengalami. Metode yang demikian sering dikatakan sebagai metode dzauqiyah, yang mengedepankan unsur intuitif dari pemerolehan-pemerolehan pengalaman para sufi. Tentu pemerolehan ini tidak hanya berangkat dengan kondisi fisik yang kosong. Para salik melalui jalan tempuh yang panjang dan bertahap, menyingkap setiap dimensi-dimensi yang tidak didapat oleh manusia-manusia pada umumnya.
Pengalaman tentu adalah pengetahuan tak terbantahkan. Mudah kata, analogi tersebut sederhana, tidak mungkin seseorang yang mengetahui definisi teh bisa mengalahkan seseorang yang tahu tentang wujud teh. Bahkan lebih tinggi lagi, seseorang yang tahu definisi dan wujud teh tidak mungkin mengalahkan pengetahuan seseorang yang telah merasakan kenikmatan teh, sekali—atau bahkan berkali-kali. Penjabaran demikianlah yang sering menjadi alasan para sufi melakukan pengembaraan jauh dalam dirinya sendiri. Pemikiran-pemikiran tentang segala persoalan mengenai Tuhan yang dekat, adalah jawaban jika pengetahuan itu didapat dari pengalaman-pengalaman yang sebetulnya sulit didefinisikan.
Demikianlah, puncak pengembaraan itu menjadi satu titik al-Ghazali menunjukkan dirinya. Pengetahuan rasional tidak akan mampu mengalahkan segala tentang pengalaman. Dengan begitu, tasawuf-lah yang menjadi mutiara dalam setiap bahasa-bahasa karyanya. Ia tidak menafikan segala epistemologi rasional yang ia bawa sebelumnya, namun sekedar mengukuhkan bahwa tasawuf adalah puncak pengetahuan yang tidak terbantahkan, walau dalam banyak hal menuai pertentangan oleh kaum rasionalis.
Referensi :
Khudori Soleh , 2016. Filsafat islam : Dari klasik hingga kontemporer Yogyakarta : Ar- Ruzz Media
Suparman Syukur, 2007. Epistemologi Islam Skolastik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
[…] juga : *Puncak Epistemologi Al-Ghazali *Urgensi Manthiq dalam Perkembangan Ilmu […]