Relasi al-Qur’an dengan budaya lokal Bugis

          Al-Qur’an senantiasa membangun dialektika dengan peradaban yang ia jumpai. Sehingga hal itu memunculkan satu konsekuensi jika nilai-nilai yang terkadung memunculkan suatu tindakan praktis dalam realitas sosial. Dengan demikian tak heran jika banyak ditemui fenomena sehari-hari yang melibatkan al-Qur’an. Hal ini terjadi karena al-Qur’an sebagai kitab suci memiliki dua aspek penting, yaitu aspek informatif dan aspek peformatif.

Aspek informatif dari al-Qur’an ini kemudian melahirkan aneka ragam tafsir.  Dari kondisi keragaman tersebut, corak penafsiran tidak lepas dari latar belakang budaya dari sudut pandang mufaasir. Sehingga, hal tersebut melahirkan konsekuensi jika Al-Qur’an ditafsiri dan diresepsi oleh sebuah kebudayaan yang sudah mengakar di suatu masyarakat. Dari perjumpaan tersebut, terjadilah proses integrasi dan dialektika antara al-Qur’an dengan kebudayaan, yang kemudian hasilnya melahirkan praktek-praktek tertentu.

Dalam menangkap fenomena tersebut, muncul penelitian bergenre baru dalam bidang kajian Al-Qur’an, yaitu kajian Living Qur’an. Kajian ini  merupakan studi mengenai berbagai peristiwa sosial yang berkaitan dengan kehadiran Al-Qur’an atau keberadaan Al-Qur’an di tengah masyarakat muslim tertentu. Atau dalam pengertian yang lebih luas Living Qur’an adalah kajian tentang peristiwa sosial yang berkaitan dengan eksistensi Al-Qur’an pada suatu komunitas tertentu dengan melihat hubungan antara Al-Qur’an dan masyarakat Islam, serta bagaimana Al-Qur’an disikapi secara teoritis dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari. (Prastasia, 2021: 21-29)

Melihat zaman para sahabat hingga masyarakat muslim Bugis

Secara historis, fenomena penggunaan ayat-ayat al-Qur’an untuk tujuan tertentu sudah terjadi pada masa awal Islam. Pada zaman para sahabat semisal, mereka membaca Qs. al-Fatihah untuk mengobati sengatan kalajengking. Padahal secara harfiah tidak ditemukannya keterkaitan QS Al-Fatihah dengan sengatan kalajengking, namun para sahabat memercayainya sebagai wasilah pengobatan. Gambaran tersebut menjadi satu dalil penguat untuk membenarkan bolehnya penggunaan ayat-tertentu untuk tujuan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat saat ini. (Prastasia, 2021: 21-29)

Salah satu bentuk relasi Al-Qur’an dan budaya lokal dapat dilihat dari praktek tafa’ul, yang secara bahasa berarti pertanda baik. Praktek tafa’ul menurut Ibn Manzur seperti orang lain yang mengucapkan ya salim (hai, orang sehat) ketika menjenguk orang yang sakit.  Praktek  ini bertujuan untuk memberikan semangat dan sugesti positif pada orang sakit bahwa ia akan sembuh (Ibn Manzur, 1966: 513)

            Salah satu riwayat hadits Nabi Muhammad yang menegaskan kekuatan tafa’ul adalah jika kamu datang menjenguk orang sakit atau orang yang sudah meninggal, ucapkanlah khair, karena para malaikat mengaminkan doamu (Al-Tirmizi, 2008: 307) Jika dihubungkan dengan Al-Qur’an, tafa’ul ini adalah membaca atau memperlakukan Al-Qur’an untuk maksud tertentu. Praktek tafa’ul ini sifatnya disengaja, dalam artian seseorang yang mempraktekannya memilih ayat-ayat tertentu dan mengasosiasikan makna tertentu untuk tujuan tertentu.

            Selanjutnya penulis masuk dalam narasi utama yakni tentang model tafaul  yang terjadi pada masyarakat Bugis-Makassar. Dalam mengelompokkan macam-macam relasi Al-Qur’an dan budaya lokal (khususnya Bugis Makassar) dalam praktek tafa’ul, penulis menggunakan kerangka dari Ahmad Rafiq dalam tesisnya yang berjudul The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community. Dalam tesisnya tersebut, Ahmad Rafiq mencoba melihat pola tafa’ul  masyarakat Banjarmasin terhadap Al-Qur’an, dan terdapat kemiripan dengan pola tafa’ul masyarakat Bugis-Makassar dengan Al-Qur’an, antara lain:

            Pertama, tafa’ul dengan bunyi dan penggalan kata dalam ayat al-Qur’an(Rafiq, 2014: 161). Pada kategori ini penulis pernah diijazahkan mantra agar tangkapan ikannya menjadi banyak ketika sedang memancing. Mantra tersebut adalah membaca Qad aflaha man tazakka sambil berniat semoga ikan-ikannya tassakka (tersangkut). Meskipun secara makna tidak terdapat kaitan antara ayat ini dengan memancing ikan agar tersangkut, tapi secara bunyi kata tazakka dan tasakka agak mirip, dan keampuhan mantra ini terdapat pada penggalan ayat tersebut yang notabennya adalah bagian dari al-Qur’an.

            Kedua, tafa’ul dengan dengan surah atau ayat pilihan dalam al-Qur’an (Rafiq, 2014:163). Pada kategori ini peneliti menambahkan satu rujukan dari sebuah penelitian (Hudri, 2018: 229-239) di desa Tadang Pale, kabupaten Bone. Penelitian tersebut menunjukkan tradisi makkulhuwallah yang menjadi salah satu bagian dari rangkaian ritual kematian. Dalam prakteknya, surah al-Ikhlas ini dibaca sesuai dengan kesepakatan, biasanya sekitar 15.000 sampai 100.000 kali dalam tempo tujuh hari. Jumlah tersebut tergantung dari banyak atau sedikitnya masyarakat yang hadir.  Hal yang unik dari praktek tersebut adalah adalah media yang digunakan berupa batu kerikil, yang diletakkan diatas sebuah wadah. Tujuan dari tradisi ini adalah dalam rangka menghibur keluarga yang berduka. Pemilihan QS Al-Ikhlas tentunya memiliki beberapa alasan, pertama, QS Al-Ikhlas merupakan surah yang pendek. Kedua, QS Al-Ikhlas sudah familiar ditengah-tengah masyarakat dan kemungkinan besar masyarakat menghafalnya dengan mudah. Ketiga, QS Al-Ikhlas memiliki banyak keutamaan-keutamaan, seperti ia dianggap sepertiga dari al-Qur’an. (Bukhari, 2019: 343) Keempat, sebagai peneguhan akan ketauhidan kepada Allah.

            Dalam contoh lain yang serupa, penulis mendapati sebuah pengalaman pernah diijizahkan mantra paggoncing tange’ (pengunci pintu)yang diwariskan secara turun temurun. Hal itu diperuntukkan jika ingin keluar rumah maka hendaknya membaca Qs Al-Infitar: 11-12, supaya tidak terjadi tindakan pencurian di dalam rumah. Ditambah lagi informasi bahwa, terdapat kebiasaan orang tua ketika anaknya ingin keluar rumah, maka orang tua tersebut membacakan QA Al-Hasyr 22-24, dengan tujuan agar anaknya dilindungi oleh Allah selama beraktifitas di luar rumah.

            Ketiga, tafa’ul dengan membaca seluruh al-Qur’an (Rafiq, 2014: 163). Pada kategori ini terdapat sebuah penelitian lain yang menjadi pendukung. Penelitian tersebut menelisik tradisi masyarakat di desa Barugae kabupaten Bone yaitu mattampung. Tradisi ini bertujuan untuk memperbaiki kuburan keluarga yang awalnya hanya menggunakan batu biasa kemudian diganti dengan semen ataupun nisan sehingga tampak lebih baik. Kemudian ditambah juga dengan mendoakan si mayyit dengan tujuan agar dilapangkan kuburnya, ditambahkan pahalanya serta diringankan azabnya. Selain itu, salah satu rangkaian dari tradisi mattampung ini adalah mattimpa akorang yaitu mengkhatamkan Al-Qur’an yang dipimpin oleh imam desa setempat (Iin Parninsih, 2001: 64-82).

            Keempat, tafa’ul dengan dengan lembaran atau mushaf Al-Qur’an (Rafiq, 2014: 168). Pada kategori ini penulis menemukan informasi bahwa terdapat tradisi di sebagian kalangan suku Bugis yang cukup unik dalam prosesi kelahiran. Dalam tardisi mereka, ketika ada anak baru lahir, akan diambil ari-arinya lalu dibungkus dengan lembaran al-Qur’an. Setelah dibungkus dengan baik, ari-ari itu akan ditanam dalam tanah. Tradisi demikian bagi mereka adalah wasilah  harapan agar anak ini bisa pintar mengaji.

            Keempat model tafa’ul ini menjadikan Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam kehidupan sehari-hari dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar. Hal itu juga mencerminkan bahwa Al-Qur’an bagi kalangan masyarakat Bugis-Makassar diterima dengan baik dan dijaga nilai idealnya, sebagai bacaan yang mulia dan mengandung unsur instrumen tradisi-tradisi kemasyarakatan. Dari resepsi demikianlah, keesadaran-kesadaran yang muncul dikalangan masyarakat Bugis-Makassar tersebut membawa efek kepada aktifnya dorongan untuk mempelajari Al-Qur’an sedari kecil dan melibatkan Al-Qur’an di setiap kegiatan.

            Jika dianalisis lebih mendalam dari pola tafa’ul ini, masyarakat Bugis-Makassar diibaratkan seperti pepatah “sekali mendayung dua pulau terlampaui”. Hal itu dikarenakan mereka tetap menjaga nilai ideal Al-Qur’an yang senantiasa dijaga sejak dahulu oleh audiens awal Al-Qur’an. Kemudian penjagaan itu ditambah dengan sisi lain mereka yang cenderung welcome dan mudah berinteraksi. Terbukti, mereka mampu menyesuaikan diri dengan Al-Qur’an pada konteks lokal kemasyarakatan mereka. Dengan demikian, hidupnya Al-Qur’an di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, semakin mengukuhkan fungsi Al-Qur’an sebagai hudan lil muttaqin sekaligus hudan linnas. Fungsi itu tercermin dengan adanya peleburan dan proses dialektika dengan tradisi di kalangan masyarakat lintas golongan, bukan hanya golongan ‘Arabi, namun menembus hingga golongan A’jami.

Refrensi:

Muhammad Esa Prastasia, “Living Quran Study (A New Approach In The Development Of Quranic Tafsir)”, Eduvest, Vol. 1, No. 1, February 2021.

Ibn Manzur, Lisanul ‘Arab (Beirut: Dar al-Fikri, 1966).

Muhammad ibn Isa ibn Surah al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2008).

Ahmad Rafiq The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community, (Philadelphia: Temple University, 2014).

Hudri, Misbah, Muhammad Radya Yudantiasa, “Tradisi Makkulhuwallah dalam Ritual Kematian suku Bugis) , Maghza Jurnal ilmu al-Qur’an dan Tafsir, vol. 3, no. 2, 2018.

Iin Parninsih, “Eksplorasi Tradisi Mattampung Masyarakat Bugis dalam Kajian Living Qur’an: Studi Desa Barugae Kabupaten Bone Sulawesi Selatan”, Jurnal Pappasang, vol. 3, no, 2, 2001.

Muhammad Awaluddin

Kontributor, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *