Aku mencium anyelir darah dan kepalaku serasa dihantam benda tumpul. Pandanganku kabur dan beberapa kali suara tawa menggelegar bersahutan mengiringi suara dengung telingaku. Sekujur tubuhku terasa perih dan aku mulai merasa kedinginan.
Teriakan semakin bermunculan. Aku benar-benar kehilangan diri. Satu-satunya yang masih bisa kukendalikan hanyalah kedua pergelangan tanganku yang dicengkeram erat. Aku masih punya sisa daya kekuatan. Namun berulang kali itu hanya menjadi kesia-siaan.
Sekitar beberapa menit yang lalu aku lumpuh oleh siraman air yang beraroma busuk. Beberapa masuk dalam mata, hidung dan juga mulutku yang menganga karena mengatur tempo napas. Entah berapa jauh aku sudah berlari. Langkahku serasa lebih cepat dari biasanya. Namun akibat teriakan mereka, seseorang mengguyur seember air dari arah depan.
Dengung telinga masih tak berakhir. Entah benda apa yang menghantam kepalaku sebelah kiri, yang jelas aku benar-benar limbung. Badanku benar terasa dingin. Aku sadar, kausku telah mereka tanggalkan. Kini tenggorokanku mulai mengeluarkan dengkuran, suaraku tertahan akibat dadaku sesak setelah mereka tinju.
Ada jeda di antara seretan dan pukulan mereka. Melihat momen itu hadir aku berusaha menggerakkan kaki, dan sialnya kakiku serasa lumpuh. Sesuatu mengganjal di sana semacam tali yang diikat dan ditautkan ke sebuah tiang. Aku mengadah, mereka tak lagi memukulku namun tak berselang lama mataku benar-benar gelap. Satu kain mereka benamkan dan kedua ujungnya mereka ikat kencang di bagian belakang kepalaku. Aku serasa anjing liar yang telah mereka bius berkali-kali.
Dadaku kembang kempis, setiap satu tarikan nafas begitu nyeri terasa. Aku sadar betul diriku begitu kurus kering. Merasakan adegan-adegan sebelumnya aku mengira diriku sudah patah berkeping-keping.
Jeda itu memberikanku ruang untuk merasakan perihnya sekujur tubuhku akibat terseret di atas aspal. Mereka juga tak lagi berteriak. Namun itu tak berselang lama. Adegan kembali dimulai, satu orang berbadan besar menarikku ke belakang. Aku bersandar di perutnya yang tambun. Tangan besarnya menjambak rambutku dan kurasakan ikatan karet gelang yang begitu rapat di beberapa bagian di sana. Lagi-lagi perih terasa.
Tawa kembali menggelegar dan beberapa pula melempar dedaunan. Sekujur tubuhku terasa lengket, keringat, air beraroma busuk, hingga beberapa darah dari sayatan memar telah menyatu. Riuh suara kendaraan beberapa masih terdengar malam itu. Kejadian itu cukup larut malam. Sirine sayup-sayup terdengar, entah polisi atau ambulan, aku merasa mereka tengah menuju arahku.
Adegan tiap adegan selalu mendebarkan. Aku menunggu setiap kejadian selanjutnya dengan perasaan takut yang berkecamuk.
Aku terkejut kembali. Aroma darah kembali kudengus. Mereka benar tak membicarakanku lagi, tapi pada seseorang yang kurasa tak jauh di sebelahku. Nafasnya berat, hangat terasa di bahuku. Kurasa ia begitu dekat hanya berjarak beberapa senti dari badanku. Tak ada suara yang berontak. Sama sepertiku beberapa menit lalu, ia mendengkur lirih namun lebih serak dari suaraku. Penyiksaan juga ia dapatkan. Kami saling beradu punggung dan hanya bisa saling pasrah menunggu pengadilan mereka selanjutnya.
Oh sial, gumamku. Punggung itu jauh lebih kasar dari bayanganku sebelumnya. Beberapa sayatan luka begitu dalam dan bergaris-garis memanjang. Tak mungkin lagi itu benda tumpul. Itu sayatan sejenis pisau yang panjang. Benar-benar begitu mengerikan.
Saat-saat seperti itu ingatanku mulai kembali perlahan. Beberapa menit sebelumnya aku duduk di depan sebuah supermarket. Aku sendirian. Beberapa melihatku dengan tatapan curiga, termasuk tukang nasi goreng yang tak biasanya kulihat setiap malam di seberang.
Aku selalu hafal soal sorot mata. Hidupku dikelilingi mata yang tak pernah teduh dipandang. Sekalipun ada mata yang teduh di dunia ini, itu mungkin mata ibu sekitar sepuluh tahun lalu. Sepuluh tahun telah kulewati dengan bertaruh nyawa di setiap tempat. Dunia benar-benar sudah tak berpihak bagiku.
Aku menatap ponsel berulang kali dengan perasaan was-was terus menyelimuti. Supermarket itu sudah hampir tutup, seorang pegawai tengah membersihkan setumpuk kardus dan menutup sebagian pintunya. Aku tak punya banyak waktu, tapi kawanku berjanji tepat pukul sebelas ia sudah datang. Sebelas lewat aku masih sendiri. Firasat tak nyaman pun menerkamku pelan-pelan, lengkap dengan ingatanku sepuluh tahun yang lalu, aku pernah diringkus di tempat yang sama.
Soal kawanku itu, aku baru mendengar kabar darinya kemarin sore. Sepuluh tahun kami berpisah sel. Tak ada kabar, tak ada kontak, hanya momen peringkusan sepuluh tahun silam yang masih tersisa di kepalaku soal dirinya. Aku tak mendengar jelas alasan di meja persidangan kala itu, yang jelas berpisahnya kami adalah usaha mereka menjauhkan tindak kejahatan kembali terulang.
Kuakui masa laluku kelam. Aku jatuh dalam kehidupan yang gelap, kotor, dan nestapa. Tuhan masih menyelamatkanku dan memberiku jatah hidup lebih lama. Dulu, aku dan kawanku yang hendak kutemui malam itu adalah bandit curanmor. Akibat konsumsi pil yang seringkali membuatku sakau berkali-kali, juga meja perjudian yang begitu melucutiku setiap hari, aku harus mencari pundi-pundi uang lebih banyak untuk menuntaskan hasrat itu. Satu-satunya jalan hanyalah menjarah motor dan menjualnya ke pasar gelap.
Malam sepuluh tahun lalu di tempat yang saat itu aku berdiri, depan supermarket yang hendak tutup, aku dan kawanku diarak massa. Aksi kami gagal. Sejak malam itu aku tak lagi mendengar suara kawanku. Kami berlari berlawanan arah dan kudengar kabar setelahnya ia telah menghabiskan hari-harinya di balik jeruji besi.
Sepuluh tahun di balik penjara yang sempit telah banyak merubahku. Aku telah mendapatkan pengampunan berkali-kali hingga suatu hari hukumanku diperpendek dan aku telah menghirup separuh udara dunia. Aku keluar dengan status masih pengawasan. Mulai hari itu kubuka lembaran baru, namun tanpa kehadiran ibu. Aku bahkan belum sempat mengucapkan kepergiannya di hari pemakamannya.
Banyak hari yang berubah. Termasuk hari-hari penghabisan sisa hidupku setelah keluar dari penjara juga benar-benar tak sama. Aku hanya menjadi seorang pria malang yang sibuk sana-sini menggantungkan berita lapangan kerja. Dan hasilnya, aku tak punya apa-apa selain tenaga dan keyakinanku sendiri bahwa hidup masih perlu diselesaikan. Soal keimanan, aku masih menjahitnya pelan-pelan.
Kehadiranku di tempat yang sama, depan supermarket yang kumaksud adalah atas sebuah telepon misterius semalam. Kawan sepuluh tahun lalu kembali menunjukkan suaranya. Aku hendak menjemputnya, sekaligus menjawab rasa penasaranku selama ini tentang bagaimana rupa batang hidungnya.
Naas, aku diringkus lagi malam-malam. Sorot mata tak sedap ternyata benar tertuju padaku. Suara lantang orang-orang segera meembangkitkan pergerakan.
BANDAR! begitu teriak salah seorang. Aku berlari sekuat tenaga namun tetap tak kuasa melawan semua langkah dari segala penjuru arah yang menuju padaku. Aku tak ingat lagi soal kawanku yang hendak datang, seketika aku jatuh dan beberapa ingatanku sedikit kabur.
“Yan…, apa masih ingat aku?”
Suara itu mengejutkanku, suara kawan lawa yang tengah kucari. Aku hafal betul berat suaranya hingga beberapa serak desisnya. Dengan pandangan yang gelap, kudekatkan kepalaku padanya. Kurasakan aku telah berada benar-benar dekat dengannya, saling bertolak punggung dengan beradu rasa sakit bersimbah luka.
“Setan!” aku meludah, “Sepuluh tahun kau mendekam hidup di penjara dan kau masih begini.”
Dia tertawa kecil. Suara tawa yang membangkitkan amarahku. Aku berusaha berteriak namun mulutku mendadak disumpal kain, begitupun mulutnya. Aku hanya diam, pasrah, sembari terus merapal doa yang kuhafal. Wajah ibu kembali terlintas. Aku meneteskan air mata.
Entah apa yang terjadi esok hari. Aku berharap keadilan benar-benar datang padaku. Ini jebakan, ini tipu daya, dan ini benar-benar di luar batasku.
“Ampuni aku Tuhan,” ucapku lirih.
======================
Esoknya aku masih terus diperiksa berbarengan dengan sebuah judul berita di koran nasional diluncurkan, “Naas, Bandar Narkoba Diringkus Sebelum Melakukan Transaksi.”