Aku masih tak begitu percaya jika sebuah gitar tua Madarji  bisa masuk istana. Di tempat yang sama, orang-orang masih berdiri di kaki masing-masing, bergelut dengan keadaan, dan mencari segala yang berbau nominal uang. Pun apa yang terjadi dengan pesan masuk malam ini, Sarip yang kukenal dulu dengan lukisan-lukisannya yang selalu diulas di kelas-kelas perkuliahan, mengirim pesan foto padaku, memamerkan bertumpuk-tumpuk produk barunya. Sebuah karya kaos bergambar Ibex Alpen berwarna hitam dengan beberapa foto orang-orang bergaya necis parlente di sampingnya. Ya, dia sedang melakoni proyek besar untuk hal yang sama dengan Madarji.

Aku kenal lama dengan Madarji. Dia supel, ulet, dan nyeni. Semasa kuliah, hanya dia yang menggendong gitar tua ke kampus. Tidak lebih dari sekedar pamer kompetensi, tapi memang dari gitar itulah dia bertahan hidup sehari-hari. Ia selalu berujar, hidup ini keras!, dan persetan dengan kapitalis. Aku mengenal Frank Sinatra darinya, begitupun Bob Dylan, atau mungkin para penggagas musik Balada negeri ini.

Soal Sarip, ia juga sosok idealis miskin yang tak pernah luput soal gagasan-gagasan surealis gila dalam otaknya. Aku teringat betul, ia pernah mendapati surat ancaman serta hampir diringkus gara-gara palu hakim ia gambar seperti senapan angin. Aku benar-benar hidup dalam dunia yang gila bersama mereka. Sungguhpun demikian, mereka adalah orang-orang pemberani yang pernah kutemui.

Suara gesekan gerbong tak lagi terdengar keras, kereta ini sungguh nyaman. Setelah melesat jauh dari pemberhentian kedua, aku mulai merasakan kantuk yang mendalam. Namun, sampai saat ini gawaiku belum bisa sepi pembahasan. Bagaimanapun juga, orang-orang yang berisik ini adalah kunci, kunci untuk kemenanganku kembali.

Aku harus mengatakan sebenarnya, hidup itu soal kenyataan yang harus kau hadapi. Hanya satu tempat untuk idealis di dunia ini, yaitu keterasingan. Kalimat-kalimat itu yang selalu terngiang di kepalaku, dari mulut Madarji hingga Sarip. Mereka selalu berujar soal ketidakadilan dunia, kebiadaban para punggawa kapital, hingga kesombongan para korporat. Pada akhirnnya aku pun di posisi yang sama, dengan sedikit terpaksa menyelami pemikiran mereka, hidup tanpa kelas, kepemilikan tenggang rasa, hingga menanggalkan konsep-konsep immaterial soal hidup yang wajar.

Namun diktat-diktat yang masuk dalam kepala, narasi-narasi yang terkunyah dengan lezat, serta setumpuk buku dalam gubug-gubug diskusi hanyalah saksi sejarah. Saksi sejarah yang mengatakan bahwa, kami pernah hidup dalam keramaikan pikiran pada keheningan dunia. Pikiran gila itu hanya singgah, menepi, lamat-lamat dan menghilang. Ternyata dunia jauh lebih gila dari yang kami bayangkan. Ia jauh lebih menakutkan dari hidup yang dijalani Thomas Brodie di serial The Maze Runner sepuluh tahun silam. Dunia ini jauh lebih seperti rimba yang mencekam, tempat pertaruhan hingga tempat manusia menyiapkan lahatnya masing-masing dengan keimanan-keimanan yang mereka perbarui setiap harinya.

Aku mulai sayup, mendadak gawaiku bergetar dan foto Sarip memenuhi layarnya, foto yang masih sama dengan semasa kuliah, rambung gondrong dengan latar gunung disertai plat ketinggian puncak Mahameru serta senyumnya yang masih lebar.

“Sudah kubilang aku belum ada gambaran ke sana..,” ucapku lirih.

“Ayolah, kau ini sudah di tempat yang kuat kawan!..,” suaranya begitu berat. Masih sama dengan suara yang kukenal dulu.

“Aku harus bicarakan ini dulu pada ketua.”

“Ya, setidaknya nasibku bergantung padamu. Aku berani banting harga, atau kalau perlu Madarji kupromosikan untuk membuat lagu untukmu, partaimu, hingga tim suksesmu. Jelek-jelek begitu dia pernah datang ke istana, khakhakha…”

“Ah kukira kau masih dengan pikiran marjinalmu yang gila itu. Kecewa aku mendengarnya.”

“Wah jaga mulutmu!, lupakan soal ide manusia-manusia gila waktu itu. Kau sendiri dulu yang menguatkan kami, nyatanya kau sendiri yang memulai. Kau sendiri dulu yang membawa kami pada aksi-aksi yang tiada habisnya itu. Ah, nyatanya kau juga begitu,” nadanya mulai meninggi, dan aku paham betul apa yang ia mau.

“Oke, lupakan soal itu. Aku tak bisa menjawab ini sekarang. Jangan kecewa misal esok aku tak memberimu jawaban yang kau harapkan.”

“Ah tak ada urusan soal itu. Hidup soal bertahan dan menjalaninya. Kau kira aku pembela bendera ibex hitam itu?. Maaf kawan, aku tak ada urusan. Usahaku kembang kempis, siapa juga mau memesan jasa seniman dengan partai besar seperti ini kalau bukan tahun-tahun politik?. Semua soal uang, aku butuh hidup, dan kau adalah temanku. Kuharap kau paham maksud poin ketiga barusan. Intinya aku butuh duit, dan kau butuh suara, realistis. Semoga sukses bapak calon dewan!.” Ia pun memutus telponnya tanpa memberikanku kesempatan menjawab sepatah kata pun.

Muhammad Farhan

Asal Pasuruan Jatim. Kolumnis dan Cerpenis di beberapa media massa. Menyelesaikan studi Sarjana Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif dalam keorganisasian Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Bangil Pasuruan.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *