Sebagai makhluk yang disebut dalam al Qur’an sebagai ahsani taqwim (dengan bentuk yang paling sempurna), ternyata disisi lain manusia juga mempunyai kelemahan yang hampir senantiasa hadir di setiap individu manusia, yaitu lupa. Tak heran, jika dalam bahasa Arab, manusia disebut sebagai al-Nas (pelupa) yang dibentuk dari kata nasiya-yansa (yang berarti lupa). Menurut sebagian filosof, manusia sering juga disebut dengan makhluk yang lupa akan sesuatu yang ada. Penulis mengambil contoh sederhana, apakah oksigen itu ada? Jawabannya adalah, ada. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah manusia senantiasa mengingat bahwa oksigen itu ada?

            Hampir jarang sekali ditemukan bahwa ada manusia yang senantiasa mengingat akan “sesuatu yang ada” itu. Hal ini cukup menarik, mengingat penulis hanya mengatakan bahwa “lupa hanyalah penyakit bagi sebagian manusia saja”. Dengan kata lain, penulis tidak mengatakan bahwa “lupa adalah penyakit bagi seluruh manusia”, mengapa demikian? Sebab, ada suatu golongan yang sadar betul akan adanya sesuatu tersebut. Mereka senantiasa mengingat, bahwa apa yang tidak terlihat tersebut dan dapat mereka rasakan manfaatnya dimaknainya sebagai nikmat. Dalam suatu kajiannya di media sosial, Quraish Shihab pernah menuturkan sesuatu yang sederhana, namun bermakna.

            Ketika itu, Quraish ditanya mengenai apa itu nikmat? Quraish pun menjawab, bahwa nikmat adalah sesuatu yang bukan berasal dari kita. Penulis kira, pendapat ini cukup masuk akal, mengingat bahwa sebagaian manusia akan merasa lebih nikmat ketika memakai apa yang bukan berasal dari dirinya. Sebab, yang berasal dari dirinya berpotensi untuk diawetkan, dirawat, disayang dan sebagainya. Dan sebaliknya, jika kita menggunakan apa yang bukan berasal dari diri kita, seringkali kita teledor merawatnya. Begitu pula nikmat dari Allah, karena bukan berasal dari kita, kita justru sering tidak menghiraukannya.

            Oleh karenanya, al Qur’an pun memberi peringatan kepada kita mengenai tentang nikmat tersebut. Dalam QS. Al Takatsur : 8 yang artinya “Kemudian kamu pasti akan benar-benar ditanya mengenai kenikmatan (yang telah kamu peroleh di dunia)”. Ada kisah menarik mengenai pengertian nikmat yang diabadikan dalam tafsir Min Huda al Qur’an karya Muhammad Taqi al Modarresi. Dalam tafsirnya, ia mengutip perdebatan seru antara Imam Abu Hanifah dan Imam Ja’far ash Shadiq. Pada mulanya, Ja’far bertanya kepada Abu Hanifah mengenai makna “nikmat” dalam ayat tersebut.

            Abu Hanifah pun menjawab “yang disebut nikmat adalah aman dari kerumunan (orang jahat), sehatnya badan, dan kemampuan untuk bisa hadir (dalam majelis ini)”. Lalu, Ja’far pun bergegas menyahutinya kembali, “wahai Abu Hanifah, bagaimana jika perlahan-lahan Allah akan mencabut nikmat-Nya kepadamu, dan juga bahkan akan seketika itu juga Allah akan mencabut nikmat-Nya darimu? Kamudian, bagaimana pula jika Allah akan menanyakan kepadamu perihal makanan dan minuman yang telah dianugerahkan kepadamu pada hari kiamat kelak?”

            Disini, Abu Hanifah tidak menjawab pertanyaan dari Ja’far tersebut, melainkan ia justru bertanya kembali kepada Ja’far. Wahai Ja’far, “apa definisi nikmat menurutmu?” Ja’far pun menjawab “yang disebut nikmat adalah ketika Allah menyelamatkan kita dari kesesatan, menganugerahkan pengelihatan kepada kita, dan mengajarkan kita untuk terhindar dari kebodohan”[1]. Jawaban dari masing-masing mereka memang berbeda. Namun, penulis kira ada titik temu dari masing-masing pendapat tersebut, apa itu? Bahwa nikmat adalah segala sesuatu yang datang dari Allah.

            Meskipun, disini akan timbul pertanyaan lebih lanjut, apakah musibah yang datang menimpa kita juga disebut sebagai nikmat? Penulis teringat dengan bahasa yang tertulis dalam buku Happiness Inside karya Gobind Vashdev. Ia mengatakan, bahwa segala yang datang dari Tuhan dalam bentuk musibah pun, merupakan sesuatu yang berpotensi memiliki keindahan. Apa yang dikatakan Gobind ada benarnya juga, sebab merasa bahwa musibah merupakan sesuatu yang tidak indah bersumber dari pikiran dan hati kita yang menganggap bahwa musibah adalah sesuatu yang buruk.

            Bukankah ketika dalam musibah, banyak orang-orang yang mungkin beberapa waktu lalu sempat agak enggan mengeluarkan hartanya menjadi mau mengeluarkan hartanya untuk membantu sesama? Kemudian, hal yang kiranya perlu diingat kembali adalah bahwa kehidupan ini mempunyai tanggung jawab yang kelak akan benar-benar di  pertanggung jawabkan. Apa itu? Yaitu mengingat, merenungi, mentadabburi bahwa segala yang terjadi dalam arus kehidupan kita. Karena, pada setiap momentum nya tidak menutup kemungkinan akan senantiasa hadir yang namanya nikmat dari Allah.

Wallahu a’lam

[1] Muhammad Taqi al Modarresi, Min Huda al Qur’an (Dar al Qari’ : 2008) juz. 12, hlm. 333

By Rahmat Yusuf Aditama

Kelahiran Lamongan Jawa Timur. Menyelesaikan studi sarjana Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di UIN Sunan Kalijaga, dan kini tengah melanjutkan master di jurusan yang sama. Pegiat literasi pelatihan Kitab Kuning "Al-Ghoyah" dan menjadi pengajar di Pondok Pesantren Walisongo Probolinggo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *