Zahra al-Mada’in: Menghayati Palestina Dalam Lagu-Lagu Fairuz

Hari-hari ini mungkin akan menjadi hari-hari panjang yang merangkum ingatan kita dengan nuansa pahit-getir-pilu atas tragedi kemanusiaan di Palestina yang sampai detik ini masih berlangsung. Entah kabar mengerikan macam apa lagi dari Gaza yang akan kita terima dalam hitungan beberapa saat kedepan. Bagi kita yang tak bisa berbuat banyak untuk mereka yang terdampak di sana, barangkali akan melihat doa adalah seringan dan sekecil ikhtiar yang amat bermakna besar.

Sebagai penikmat musik Arab, setiap kali mendengar Palestina, penulis teringat sosok Fairuz. Fairuz adalah seorang penyanyi perempuan berkebangsaan Lebanon. Fairuz memiliki nama asli Nouhad Wadie’ Haddad, yang kemudian besar dan dikenal dunia dengan nama Fairuz. Namanya telah melegenda di belantika musik dunia Arab.

Perempuan yang lahir pada 21 November 1934 tersebut telah mengukir berbagai prestasi prestisius dalam sejarah musik Arab. Sebagai musisi besar Arab, lebih dari 150 juta rekamannya telah berhasil terjual di seluruh dunia. Oleh karenanya, capaian tersebut telah menjadikan Fairuz sebagai ikondunia musik Arab, dan layak bersanding dengan nama besar lain, Umm Kulthum, sebagai dua artis Timur Tengah dengan penjualan karya terbaik sepanjang masa.

Di antara ciri khas yang menonjol dari lagu ciptaan Fairuz, yang menjadikan lagu-lagunya meraup sukses besar di pasaran pada saat itu, adalah kreatifitas dan keluwesannya dalam menggabungkan pengaruh musik tradisional dan populer dalam balutan dialek Lebanon. Warna tersebut menjadikan lagu-lagu Fairuz berbeda dengan lagu-lagu panjang dengan isian kalimat yang berulang-ulang dalam dialek Mesir yang menjadi trend populer lagu-lagu saat itu.

Di samping tema-tema tentang asmara atau lika-liku kehidupan secara umum, bila diamati tidak sedikit juga lagu-lagu Fairuz yang menyuarakan perihal hak-hak kaum tertindas dan kemerdekaan. Hal ini dapat dimaklumi jika mengingat latar belakang hidupnya yang tumbuh di tengah situasi peperangan Lebanon saat itu yang menjadi faktor historis dalam sebagian proses kreatifnya mengarang lagu. Meskipun Fairuz terlahir dan tumbuh sebagai seorang kristiani, lagu-lagunya relevan dan dirasa mewakili suara-suara mereka yang terlibat dalam perang saudara yang bergejolak di Timur Tengah pada rentang tahun 1975-1990, tak terkecuali Palestina pada waktu itu.

Ketenaran Fairuz dengan lagu-lagunya di luar dunia Arab, antara lain disebabkan karena faktor dukungan artistiknya terhadap perjuangan rakyat Palestina pada saat itu. Sampai pada tahun 1995, Fairuz diundang untuk datang ke Mesir oleh Egyptian State Radio (Radio Nasional Mesir), yang kemudian ditugaskan untuk menggagas lagu yang menyuarakan dukungan untuk perjuangan Palestina. Dan hasilnya, dari kerjasama tersebut, berhasil membuahkan sebuah album yang bertajuk Raji’un (“We Shall Return”) atau yang berarti “Kami Akan Kembali”, adalah sebuah album yang berisi kumpulan lagu kebangsaan yang menggairahkan perjuangan dan kebangkitan sekaligus bernuansa muram serta militeristik.

Tentang Zahra al-Mada’in

Di antara lagu Fairuz yang bertemakan Palestina, adalah lagu yang berjudul Zahra al-Mada’in. Zahra al-Madain berarti “Bunganya Kota-Kota”. Fairuz pertama kali membawakan lagu tersebut pada tahun 1967, pada saat mengisi rangkaian acara dalam Festival Internasional Cedars 1967 di Lebanon, tanah airnya sendiri. Wajar saja jika kemudian lagu tersebut booming dan tenar di dunia Arab, musabab banyak elemen yang merasa terwakili dan tersuarakan olehnya. Yang diistilahkan dan dimaksud Fairuz sebagai “bunganya kota-kota” dalam lagunya itu adalah Jerussalem. Dalam lirik lagu itu, Jerussalem digambarkan dalam bentuk kata ganti orang kedua tunggal yang hilang dan selalu dirindukan kehadirannya setiap hari.

Beberapa variabel dan atribut keagamaan disebut dalam lirik lagu Zahra al-Mada’in. Di antaranya ada penyebutan kata tiga rumah ibadah agama Yahudi, Kristen, dan Islam, perjalanan Isra Mi’raj, serta kelahiran Yesus. Lagu Zahra al-Mada’in dinyanyikan dengan diiringi musik orkestra serta dibalut ritme khas himne gereja Arab Bizantium, dalam durasi hampir 9 menit. Aura sentimentalistik sangat terasa dalam alunan nadanya. Meresapi penekanan dan entakan-entakan dalam beberapa bagian iramanya, terasa sekali ekspresionisme kemarahan, protes, penentangan dan perlawanan.

Di antara bagian lirik lagu Zahra al-Mada’in yang sangat representatif dengan keadaan rakyat Palestina yang sangat memprihatinkan adalah berikut ini:

Untuk mereka yang mengungsi

Untuk anak-anak tanpa rumah

Untuk mereka yang membela diri dan syahid di pintu gerbang

Dan perdamaian itu sendiri dibantai di Tanah Perdamaian

Keadilan telah roboh

Tanpa perlu banyak artikulasi maupun tafsiran-tafsiran, kiranya lirik di atas sudah cukup jelas menggambarkan kepedihan yang dialami rakyat Palestina. Lebih parah lagi, jika melihat fakta yang terjadi saat ini, baik yang mengungsi ataupun yang tidak mengungsi, sama-sama dalam ancaman pembasmian yang amat mengkhawatirkan, oleh pembombardiran Israel yang tanpa pandang bulu hingga menyasar ke kamp-kamp pengungsian rakyat Palestina. Kenyataan tersebut tidak saja melukai nilai kemanusiaan, namun bahkan dalam regulasi terkait situasi dan konteks peperangan pun hal tersebut tidak diperkenankan.

Namun, sejak saat itu hingga detik ini, “bunganya kota-kota” itu telah jatuh, terluka amat perih, dan mungkin saja menuju ketiadaannya bila tidak segera mendapat pertolongan. Melalui Fairuz dan lagunya Zahra al-Mada’in ini, lagi-lagi dan untuk yang kesekian kali, tak hentinya kita diingatkan bahwa konflik Israel-Palestina bukan sekedar konflik antar agama, bukan sekedar konflik antar etnis dan budaya, tetapi sudah menjadi konflik kemanusiaan. Figur seperti Fairuz ini seharusnya menjadi inspirasi untuk kita semua, agar bersatu dan berdaulat dalam persaudaraan, bukan atas nama agama ataupun kelompok tertentu, tetapi semata dan murni atas nama kemanusiaan.

Referensi:

Thom Jurek. Fairuz Biography. Diakses pada 23 November 2023 dari https://www.allmusic.com/artist/fairuz-mn0000163342#biography Khaled Yacoub Oweis. Lebanese Diva Arouses Emotion, Controversy in Syria. (29 Januari, 2008). Diakses pada 23 November 2023 dari https://www.reuters.com/article/entertainmentNews/idUSL2874028520080128/?feedType=RSS&feedName=entertainmentNews

Ahmad Harish Maulana

Santri dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Tinggal di Yogyakarta serta menulis di beberapa media massa. Bisa ditemui melalui Twitter/X @harish_farabi

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *